|
JAKARTA -- Masalah sampah warga Ibu Kota yang dibuang di tempat pembuangan sampah (TPS) Bantargebang, Kota Bekasi, belum kunjung tuntas penanganannya. Untuk menuntaskan sampah ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi menyepakati pengadaan konsorsium. Pembentukan konsorsium ini lantaran PT Patriot Bekasi Bangkit (PBB) yang selama ini dipercayakan mengelola sampah di Bantargebang dinilai gagal dan tak profesional. Diharapkan konsorsium ini akan terwujud dalam dua bulan. Kerja sama Penggunaan Bantargebang sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) berakhir Juli mendatang. DKI Jakarta dan Bekasi sama-sama sepakat akan menarik investor yang turut mengelola sampah ini melalui konsorsium. ''Kita akan bangun holding company yang diwakili BUMD Bekasi dan Jakarta. Lalu kita akan dirikan instalasi pengolahan sampah modern di Bantargebang,'' kata Sutiyoso, gubernur DKI Jakarta usai menerima Wali Kota Bekasi, Akhmad Zurfaih, Jumat (10/2) di Balaikota. Akhmad Zurfaih menambahkan akan dibentuk satu tim independen dalam pengelolaan sampah di Bantargebang. Tim ini berperan sebagai konsultan yang akan mengevaluasi kelayakan Bantargebang sebagai TPST. Menurutnya, masih banyak lahan yang kosong. ''Itu tanah DKI bukan tanah kita. Tadi kita sepakati akan meningkatkan dengan teknologi, minimal seperti di Bojong,'' katanya. Kemungkinan diterapkannya teknologi yang sama dengan Bojong di Bantargebang, diakui Rama Boedi, kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Ini bergantung dari konsorsium yang akan terbentuk. Perusahaan milik Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi inilah yang akan menentukan bersama investor lainnya. Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mukhayar RM mengatakan, telah dianggarkan Rp 78 miliar untuk pembentukan konsorsium dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2006. Konsorsium ini berisi beragam perusahaan pengelola. Hal ini dilakukan karena PBB dinilai tidak profesional melakukan usahanya. Pada saat mengunjungi TPST Bantargebang enam bulan lalu, kata Mukhayar, terdapat ketidaksesuaian prosedur pengolahan. Air sampah yang terolah disinyalir tidak aman bagi warga. Air ini diolah dalam tiga tahap. Pada tahap terakhir seharusnya ditempatkan biota untuk mengetahui keamanan air tersebut bagi masyarakat sebelum dialirkan ke sungai. Tapi PBB tidak menyediakan biota tersebut. ''Bantargebang juga seharusnya tidak bau,''kata Mukhayar. Pasalnya dalam sistem sanitary landfill, sampah diolah dalam lima zona. Setiap ketinggian lima meter sampah diuruk tanah. Itu pun diberi satu mikroorganisme bernama E4 yang membuat sampah tidak berbau. Kemudian terdapat instalasi pengolahan air sampah (IPAS) dengan pipa yang mengalirkan cairan sampah untuk kemudian diolah. Tipping fee yang diterima PT PBB dan Pemkot Bekasi untuk pengolahan sampah ini bernilai Rp 52.500 per ton sampah. Setiap hari Jakarta mengirimkan 6.000 ton sampah. Tipping fee ini juga digunakan untuk dana masyarakat yang berada di sekitar Bantargebang. PT PBB, kata Mukhayar tidak melakukan pengecekan berat sampah secara akurat. Maka DPRD meminta Sucofindo membuat sistem penimbangan sampah online. Alat ini berupa jembatan yang dapat secara akurat menghitung berat sampah yang ke luar Jakarta menuju Bantargebang. Hal ini dilakukan untuk akurasi pengeluaran anggaran untuk pengolahan sampah. Keakuratannya dapat dilihat di Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Dinas Kebersihan Kota Bekasi, dan Bantargebang.(c34 ) Post Date : 11 Februari 2006 |