|
Walhi hingga saat ini tak lelah-lelahnya menyerukan pada semua pihak, termasuk umat beragama untuk menolak privatisasi Sumber Dasar Air dengan mendesak Mahkamah Agung melakukan judicial review UU No.7/2004 mengenai Sumber Daya Air (UU SDA). Seperti kita ketahui, tanpa UU inipun, kondisi sumber daya air di Indonesia memang sudah mencapai tahap kritis. Kehadiran UU itu malah menambah ruwet krisis air. Krisis air, kalau dilihat dari angkanya layak membuat kita semua cemas. Secara global, pasokan air di seluruh dunia berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan tahun 1970 ketika bumi baru dihuni 1,8 miliar penduduk. Kelangkaan air sungguh ironis dengan predikat Bumi sebagai Planet Air lantaran 70 % permukaan bumi tertutup air. Namun, sebagian besar air di Bumi air asin dan hanya sekitar 2,5 % air tawar. Itu pun tidak sampai 1 % yang bisa dikonsumsi. Sisanya air tanah yang dalam atau es di Kutub. Para ahli meramalkan, dunia yang diperkirakan berpenduduk 8,3 miliar pada 2005 akan menghadapi kelangkaan air bersih. Bagaimana Indonesia? Menurut LIPI, negeri ini memiliki 6 % dari persediaan air dunia atau sekitar 21 % persediaan air Asia Pasifik. Namun demikian, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan 15-35 % per kapita per tahun. Dalam level pulau Jawa, menurut Sudariyono, Deputi Menteri LH bidang Pelestarian Lingkungan, pada 1930, kawasan ini masih mampu memasok 4.700 meter kubik per kapita per tahun (SH, 3/4). Namun, saat ini potensinya tinggal sepertiga atau sekitar 1.500 meter kubik per kapita per tahun. Berpegang pada perhitungan ini, diperkirakan tahun 2020 total potensi air akan menjadi berkurang hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Kalau diperhitungkan secara kelayakan ekonomi air, hanya 35 persen yang layak pakai. Berarti potensi aktual air kita hanya tinggal 400 meter kubik per kapita per tahun. Ini jauh di bawah standar PBB, yaitu 1.100 meter kubik per kapita per tahun. Studi yang dilakukan oleh Bappenas dan Persatuan Perusahaan Air Minum (Perpamsi) pada November 1998 menunjukkan, 87 dari 303 PDAM di seluruh Indonesia dalam kondisi kritis. Kapasitas produksi PDAM di seluruh Indonesia 91 liter per detik, baru mencukupi 43 % penduduk perkotaan yang diperkirakan berjumlah 64,4 juta jiwa (BPS). Peran Umat Beragama Dalam tradisi dan keyakinan China, air merupakan salah satu unsur dari kelima unsur yg menghidupi dunia. Setelah prinsip pertama Yin-Yang, ada prinsip kedua yang tak kalah penting yaitu mengenai lima unsur (U Sing), yaitu kayu, api, tanah, logam dan air yang berhubungan satu sama lain dan saling menghidupi. Segala sesuatu dalam alam semesta dapat digolongkan dalam lima unsur ini. Dalam kebudayaan lain, peran air diwujudkan dalam keberadaan Dewa Air. Dalam agama-agama kuno Timur Tengah, beberapa peradaban memiliki Dewa Air. Diwaktu lalu, beberapa gereja dan segelintir umat Kristen diresahkan dengan terbitnya Alkitab Eliezer ben Abraham berjudul Kitab Suci Taurat dan Injil. Orang Kristen juga bingung dengan gerakan ini. Gerakan ini menuntut istilah Allah dalam Kitab Suci umat Kristian dihapuskan. Alasannya, nama Allah itu konon berasal dari dewa air yang mengairi bumi. Jadi dalam beberapa kepercayaan sang Pencipta dikaitkan dengan keberadaan air.Dalam perspektif agama samawi seperti Yahudi, Kristen atau Islam, peran penting air sangat jelas, baik ritual maupun sehari-hari. Air termasuk yang paling awal diciptakan Tuhan seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian. Air menghidupi, tetapi juga dahsyat untuk menghancurkan kehidupan seperti dalam kisah Air Bah di era Nuh. Dalam kekristenan, air baptis menjadi simbol kehidupan baru bahwa manusia harus terlahir kembali. Yesus juga diyakini oleh umat kristiani sebagai Air Hidup. Di Bali, ketika anak masih bayi juga diselamati dengan upacara Ayusya, yaitu upacara untuk umur panjang bagi bayi itu. Pada telinga kanan, bapaknya mengucapkan mantera yang isinya menyatakan antara lain: air adalah berumur panjang, melalui Dewa Air memohon kepada Tuhan agar anak itu dianugerahi umur yang panjang. Tolak Privatisasi Sayang air itu tidak gratis lagi, karena kini menjadi barang dagangan. UU SDA yang sudah diterbitkan mendukung komersialisasi dan privatisasi air. Artinya, sebentar lagi akan ada orang atau badan yang bisa memiliki sumber-sumber air untuk dijadikan barang dagangan (privatisasi). Air yang sesungguhnya menentukan hidup-mati kita semua, jadi barang dagangan dengan harga selangit. Bayangkan kalau para petani serta peternak ikan harus membeli air untuk sawah dan ternak mereka. Betapa mahalnya biaya yang harus mereka tanggung serta harga beras dan ikan yang kita makan nanti! Segenap umat beragama harus menyadari panggilan hidup umat beragama bukan hanya untuk mengejar kesucian diri sendiri. Umat beragama tak boleh lepas tangan dengan isu lingkungan hidup. Rusaknya alam semesta, makin kritis dan ruwetnya air harus mengetuk nurani segenap umat dari agama apapun. Kita harus perjuangkan, agar air tidak dihambur dan diboroskan seenaknya, juga dijaga dan tidak disalahgunakan sumber-sumbernya. Krisis air dan keruwetan serta masalahnya akan teratasi jika praktik beragama kita sungguh memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kejujuran, termasuk pengelolaan air. Air adalah kehidupan yang mengalir dari Sang Sumber Hidup sendiri. Mari kita menjaganya, bukan demi egoisme, tetapi demi kehidupan bersama. Tom S SaptaatmajaPenulis adalah teolog, Alumnus Seminari St Vincent de Paul Post Date : 14 Juni 2005 |