BEKASI - Banyak cara untuk meraup rupiah dengan cara pintas. Itulah yang dilakukan sejumlah sopir truk sampah asal Jakarta yang menjual sampah kepada pemulung sebesar Rp 300.000 per truk. Seharusnya, sampah itu dibuang ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Bantar Gebang, Kota Bekasi.
Sampah liar kini masih saja banyak ditemukan di luar TPST Bantar Gebang Kota Bekasi. Mestinya, sampah itu dibuang ke lahan tempat pembuangan sampah yang tersedia yang dahulu dikenal Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Namun, oleh beberapa sopir truk angkutan sampah milik Pemda Jakarta, sampah tersebut sengaja dijual kepada pemulung yang tinggal di perkampungan.
Pada umumnya, sampah yang dijual sopir, sampah pabrik dan sampah dari pusat-pusat berbelanjaan, seperti mal. Ternyata, sampah industri itu banyak yang masih dapat dimanfaatkan oleh pemulung, seperti plastik, kawat, besi, paku, kaleng, karet, kaca bekas lampu yang mengandung merkuri, hingga sampah bahan beracun dan berbahaya (B-3), seperti bekas baterai hingga limbah padat B-3 lainnya.
Sementara itu, sampah yang berasal dari pusat berlanjaan, umumnya banyak terdiri dari plastik dan kertas bekas kemasan yang masih laku dijual kembali. Para pemulung yang berani membeli sampah dari para sopir tertentu itu harus mengetahui jenis sampah yang akan dibuang, apakah sampah rumah tangga atau sampah pasar. Jika sampah itu berasal dari sampah rumah tangga atau sampah pasar, tentu pemulung tidak mau membeli karena tidak banyak yang dipungut untuk dijual kembali.
Demikian hasil pantauan SH di perkampungan Kelurahan Sumurbatu dan Ciketingudik yang berbatasan langsung dengan lokasi TPST milik Pemda Jakarta tersebut. Keterangan ini juga diperkuat pihak pengelola TPST Bantar Gebang.
Bahkan, Camat Bantar Gebang Yayan Juliawan saat dihubungi SH, Senin (13/4), mengakui bahwa saat ini masih saja banyak sopir yang membuang sampah di perkampungan penduduk.
Yang jelas, kata Yayan, sampah yang dibuang di perkampungan sering disebut sampah liar karena tidak dibuang ke lahan TPST.
Namun, ia mengaku tidak mengetahui persis berapa nilai satu truk sampah yang dibuang ke perkampungan dan dibeli pemulung. “Yang jelas, ada transaksi dan uangnya,” kata camat yang mengaku kerepotan atas banyaknya sampah liar di wilayah kerjanya akibat ulah sopir truk sampah milik Pemda Jakarta.
Merusak Lingkungan
Sementara itu, keterangan lain menyebutkan, rata-rata harga satu truk sampah yang dibeli pemulung Rp 300.000. Namun, pemulung memastikan dulu apakah sampah itu adalah sampah industri atau mal. Transksi jual beli sampah ini tidak mengenal waktu. “Bisa siang dan malam hari,” kata Camat Yayan.
Dampak buruk adanya sampah liar tadi sangat merusak lingkungan hidup sekitar karena tidak semua sampah dapat diambil pemulung. Sisa sampah yang tidak bernilai ekonomis dan tidak laku dijual akan ditinggal pemulung begitu saja serta akan menumpuk bertahun-tahun sehingga dipastikan dapat merusak lingkungan.
Adanya sampah liar ini menjadi persoalan pelik dan serius yang hingga kini belum dapat diatasi. Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad terpaksa angkat bicara terkait sampah liar tadi.
Bertepatan dengan peresmian dan peletakan batu pertama pembangunan TPA menjadi TPST tanggal 2 April 2009 lalu oleh Gubernur Jakarta Fauzi Bowo, Mochtar dalam sambutannya mengeluhkan dan menyampaikan kepada Fauzi Bowo perihal ulah sopir pengangkut sampah dari Jakarta yang membuang sampah di perkampungan warga atau yang dikenal sampah liar.
Mochtar pun mengakui, sampah liar itu menjadi suatu masalah yang belum dapat diatasi hingga sekarang karena ada sopir yang membuang pada malam hari sehingga sulit dipantau. Bahkan, Mochtar saat ini secara terus terang minta kepada Gubernur Jakarta untuk menyediakan tiga truk guna mengangkut sampah liar di Kelurahan Cikiwul, Ciketingudik, dan Sumurbatu.
Mendengar laporan Mochtar, Fauzi Bowo sempat tersentak. Dia akhirnya menyetujui akan membantu tiga truk angkutan sampah buat Bekasi. Namun, pemberian dan penyerahan tiga truk dilakukan setelah adanya perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemda Jakarta tahun 2009 ini. (jonder sihotang)
Post Date : 14 April 2009
|