PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta dan operator air minum diminta mengubah sistem pengelolaan air bersih serta menurunkan tarif air bersih di wilayah DKI Jakarta. Mahalnya tarif membuat warga kelas menengah ke bawah kesulitan mendapatkan air bersih. Penggunaan air tanah pun semakin marak.
Anggota Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta Hidayat AR Yasin mengatakan, buruknya sistem pengelolaan air bersih serta tingginya tarif air bersih menjadi penyebab banyaknya warga Jakarta menggunakan air tanah dan air permukaan tanah yang sudah tercemar.
"Banyak warga menggunakan air sungai dan danau untuk keperluan sehari-hari. Ini tidak akan terjadi jika sistem pengelolaan baik dan tarif air bersih terjangkau," kata Yasin dalam diskusi bertema "Pembangunan Fasilitas Air Bersih dan Sistem Pengendalian Bajir di Jakarta", Minggu (31/7).
Yasin menilai, pelayanan air bersih belum memuaskan. Banyak warga masyarakat merasa tidak mendapatkan keadilan, karena tarif air yang dibayarkan tidak sesuai dengan kualitas air yang diterima. Selain itu, tidak sedikit warga DKI belum bisa menikmati air bersih yang dikelola PAM Jaya. "Maka itu, sistem pengelolaan air bersih di DKI harus diubah," ujarnya.
Selain Yasin, acara itu juga dihadiri Anggota Komisi D lainnya seperti: Mohamad Sanusi, Hasbiallah Ilyas dan pengamat lingkungan hidup dari Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia, Herlambang.
Sanusi pun berpendapat, penyelenggaraan pengeloaan air bersih harus diperbarui. Sebab, Jakarta memiliki peluang besar untuk melakukan perbaikan pengeloaan air bersih. Lokasi Jakarta yang strategis di tepi pantai utara Laut Jawa, tingginya curah hujan serta kemajuan teknologi yang dimiliki bisa dijadikan peluang.
Menurut Sanusi, air hujan dan air banjir kiriman bisa dimanfaatkan dengan membuat penampungan air berskala besar seperti: polder, danau, situ dan penampungan air bawah tanah. "Yang dibutuhkan hanya kemauan," katanya.
Sementara Hasbiallah menilai PAM Jaya belum mampu menjalankan perannya dengan baik. Terbatasnya ketersediaan dan suplai air baku masih menjadi masalah klasik yang tidak terselesaikan. "Cakupan layanan masih rendah. Angka kehilangan air masih tinggi, dan standar pelayanan masih buruk," katanya.
Pengamat lingkungan hidup UI, Herlambang, mengatakan, penyebab kelangkaan air bersih di Jakarta adalah pencemaran sungai, lemahnya daya serap dan pemanfaatan air hujan, belum dimanfaatkannya air laut, dan tingginya tingkat kehilangan air besih.
"Jakarta dilalui 13 sungai. Bahkan, intensitas air hujan di Jakarta mencapai 2.000 juta kubik per tahun. Namun, yang terserap hanya 26,6 persen. Sisanya, 73,4 persen, terbuang sia-sia ke laut akibat tata guna lahan yang salah di DKI Jakarta," katanya.
Solusi yang bisa dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan operator air adalah mencari sumber air baku baru, mengolah dan menawarkan air laut atau sumber air yang memiliki kadar garam tinggi, mengolah dan memurnikan kembali air kotor dan memanfaatkan air hujan secara maksimal dengan membangun penampungan air. Fauzan Hilal
Post Date : 01 Agustus 2011
|