|
Bermula dari Leuwigajah, empat tahun lalu, 21 Februari 2005. Saat itu, 143 jiwa melayang tertimbun sampah. Tragis dan memilukan! Agar tidak terulang di tempat lain, Kementerian Negara Lingkungan Hidup menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah. Gemanya belum sungguh terasa, tetapi sebagai salah satu upaya, pantas terus digelindingkan. Sasaran pokok ketetapan Kementerian Negara Lingkungan Hidup adalah seluruh warga masyarakat, bukan hanya Bandung dan sekitarnya. Tujuannya mengubah perilaku nyampah, atau biasa dikenal sebagai perilaku nimby, Not In My Back Yard, asal tidak di halamanku, yang ditengarai menjadi sebab penting dalam tragedi itu. Sangat jelas, perilaku nimby, sebagai perilaku yang ”alamiah”, adalah perilaku tak peduli: pada sesama, pada alam, pada generasi mendatang. Hanya, perlu dicatat, bahwa perilaku nimby tidak hanya perilaku individu, tetapi juga ”perilaku” yang bersifat institusional. ”Nimby personal” Masalah sampah memang terkait erat dengan esensi sampah itu sendiri. Semakin modern sebuah masyarakat, semakin banyak sampahnya. Becermin dari Jakarta, menurut data Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2007), produksi sampah di DKI adalah 26.945 m³ per hari atau kira-kira 6.000 ton per hari. Itu terdiri dari sekitar 55 persen sampah organik dan 45 persen sampah anorganik. Data lain menunjukkan, 53 persen sampah adalah sampah rumah tangga. Selain itu, diamati pula bahwa sekitar 15,3 persen sampah di Jakarta dibuang sembarangan. Angka pertama menunjukkan, bukan sampah industri langsung yang lebih menjadi sumber sampah. Kemudian, angka kedua menunjukkan betapa sikap dan perilaku warga yang tak peduli mempunyai andil besar dan penting dalam karut-marutnya pengelolaan sampah di Jakarta. Kedua data itu saling terkait, lalu menunjuk pada nimby personal. Nimby personal, jika becermin di Jakarta, tampak di tempat-tempat umum yang pada umumnya kotor. Sungai-sungai juga tidak ada yang bersih. Juga, tak sedikit orang yang masih suka membuang sampah dari mobil pribadinya! ”Nimby” institusional Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta juga menunjukkan, di antara 45 persen sampah anorganik, plastik menduduki tempat kedua teratas (13,25 persen) setelah sampah kertas (20,57 persen). Data itu menarik karena 13,25 persen sampah plastik berarti sekitar 1.000 ton sampah plastik per hari diproduksi di Jakarta. Bisa diduga, bekas kemasan plastik dari suatu produk adalah golongan sampah plastik terbesar. Pun, dengan mengingat bahwa mi instan adalah salah satu makanan favorit warga kota karena murah dan praktis, sampah plastik bungkus mi instan punya andil tidak kecil. Inilah wujud nimby institusional dari lembaga bisnis, yang bukan tidak peduli pada amdal saja, tetapi juga tidak peduli pada dampak kemasan produknya. Yang kurang eksplisit dikatakan dalam data itu adalah, hingga saat ini pengelolaan sampah di DKI masih tradisional: dikumpulkan, lalu ”dibuang” di Bantar Gebang, Bekasi. Ini adalah kenampakan paling nyata dari nimby institusional yang dilakukan pemerintah. Nimby ini adalah nimby aktif. Ada juga nimby institusional yang bersifat pasif. Hal ini tampak ke-pasif-an pemerintah dalam menyediakan berbagai sarana pengelolaan sampah warga, mulai dari tempat sampah hingga sistem pengangkutan. Dengan kata lain, sistem pengelolaan masih dibiarkan seadanya meski sudah mulai ada beberapa upaya di sana-sini. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah memang sudah ditandatangani Presiden dan DPR tahun lalu. Peraturan pemerintahnya belum ada karena sedang digodok. Hal ini menunjukkan, kepedulian struktural terhadap sampah baru muncul akhir-akhir ini. Ini pun bisa ditafsirkan sebagai kenampakan nimby institusional pasif. Makna hari ini Ditetapkannya 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah tentu menjadi bagian penting dari kampanye peduli sampah. Kegiatan ini adalah sebuah kampanye moral. Tujuannya mengubah perilaku nimby: baik yang dilakukan individu, pemerintah, maupun lembaga bisnis. Terkait dengan pemerintah, yang bertanggung jawab terhadap sampah, pertama-tama adalah Dinas Kebersihan. Namun, aparat pemerintah yang lain juga harus mendukung dengan kebijaksanaannya. Koordinasi antardinas menjadi penting. Demikian pula untuk lembaga bisnis, upaya membuat kemasan yang lebih ramah lingkungan tentu menjadi salah satu wujudnya. Sepintas, tampaknya nimby institusional disebabkan nimby personal. Yang personal memang lebih bersifat instingtual. Meski demikian, jika diperhatikan lebih jauh, yang kedua pun meyebabkan yang pertama. Bagaimanapun struktur institusi itu membentuk yang personal, kemudian terjadi relasi timbal balik. Setidaknya, tiadanya sarana dan prasarana yang menjadi tanggung jawab struktural, nimby personal akan tumbuh subur. Dengan itu, mudah disimpulkan, kampanye peduli sampah baru akan berhasil jika melibatkan ketiga elemen masyarakat itu (warga, pemerintah, dan lembaga-lembaga bisnis) secara serius. Undang-undang pengelolaan sampah amat diharapkan bisa lebih mengikat ketiganya. Namun, lebih dalam lagi: tragedi Leuwigajah, sebagai tragedi kemanusiaan, diharapkan menjadi pelajaran moral penting bagi semua pihak untuk ikut ambil bagian mengatasi masalah sampah, berpartisipasi membangun budaya baru di negeri ini, tidak hanya membiarkan banyak hal berlangsung alami. Al Andang L Binawan Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta; Penggiat Gerakan Masyarakat Peduli Sampah (Gemash) Jakarta Post Date : 21 Februari 2009 |