Uang dan Peluang di Timbunan Sampah

Sumber:Republika - 06 Oktober 2005
Kategori:Sampah Jakarta
Setiap hari manusia selalu menghasilkan sampah. Di rumah, kantor,rumah sakit, dan pabrik-pabrik. Di mana-mana selalu saja ada produk barang atau makanan yang habis masa ekonomisnya. Sehingga, dianggap sudah tidak diperlukan lagi dan dibuang. Alhasil, produk-produk buangan tersebut berubah nama menjadi sampah.

Sampah kemudian menjadi limbah. Dalam sehari saja, satu daerah bisa menghasilkan berton-ton produk buangan tersebut. Menempatkannya di satu lokasi pembuangan tidak akan menyelesaikan masalah. Walau bagaimana pun harus ada cara penanggulangan dalam pengelolaannya. Jangan sampai, sampah dibiarkan semakin menumpuk.

Seperti diketahui, sampah terbagi ke dalam dua jenis. Organik dan nonorganik. Sampah organik adalah hasil buangan yang terdiri dari bahan-bahan organik. Misalnya, sisa-sisa makanan. Atau, disebut juga sampah dapur. Sementara, sampah nonorganik di antaranya adalah kertas, kaca, barang pecah-belah, plastik, mika, kaleng, besi dan logam.

PT Alpindo Mitra Baja (AMB) memproduksi Mesin Pengolah Sampah (MPS). Mesin ini terbuat dari material pilihan. Sehingga, dapat bertahan lama dalam pengoperasiannya. Asalkan, perawatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana mestinya. Mesin ini mampu digunakan untuk menghancurkan sampah organik dari berbagai ukuran menjadi hanya sekitar lima hingga 10 mm saja.

MPS terdiri dari mesin giling, generating set, dan conveyor. Mesin giling berfungsi sebagai alat untuk mengolah sampah organik menjadi ukuran lima hingga 10 mm. Generating set digunakan sebagai tenaga penggerak mesin giling. Conveyor difungsikan untuk memasukkan sampah organik ke dalam mesin giling secara berjalan. Pergerakan mesin ini adalah tiga ribu rpm (rotasi per menit).

Sampah-sampah organik yang proses pengolahannya menggunakan MPS produksi AMB, selanjutnya dapat dijadikan kompos. Kompos itu dapat digunakan sebagai penyubur tanah guna merangsang suburnya tanaman. Namun, apabila memang berniat untuk membuat kompos, maka sampah yang dimasukkan harus disortir terlebih dahulu. Sampah yang dimaksud adalah sampah organik saja.

Apabila hasil gilingan nantinya tidak akan digunakan sebagai kompos, maka semua jenis sampah dapat digiling. Kecuali, benda yang sangat keras dan sulit putus. Misalnya, besi dan ban.

Cara pengoperasian mesin ini cukup sederhana. Sebelum MPS melakukan proses produksi, maka operator harus melakukan beberapa langkah. Yakni, menghidupkan generating set minimal selama 15 menit. Kemudian, hidupkanlah mesin giling tanpa beban atau tanpa diisi dengan sampah terlebih dahulu. Lamanya, sekitar lima menit. Selanjutnya, masukkan sampah organik yang sebelumnya telah disortir ke dalam mesin giling melalui conveyor.

Manfaat mesin tersebut antara lain adalah sampah yang telah diolah menjadi kompos, bisa dijual. Hasil penjualan pupuk akan dapat menutupi biaya-biaya operasional. Rata-rata harga pupuk kompos organik adalah Rp 300 sampai dengan Rp 500 per kilogram. Selain itu, melalui pendayagunaan MPS, lahan pembuangan sampah dapat dikurangi. Dan, efisiensi pengeluaran (pemerintah) daerah pun dapat dilakukan. Manfaat lainnya adalah, sampah-sampah yang selalu menjadi masalah bagi pemerintah daerah, sedikit banyak dapat teratasi.

Perusahaan yang berlokasi di Lingkungan Industri Kecil, Jl Cibatu, Sukabumi, Jawa Barat tersebut, memproduksi sedikitnya empat tipe MPS. Yaitu, AE400, AE100, AE50, dan AE20. AE400 memiliki ukuran 6000x6000x4000 mm dan kemampuan giling 34 m3 per jam. AE100 berukuran 2000x2000x4000 mm dengan kemampuan giling sembilan m3 per jam. Sedangkan AE50 memiliki ukuran 1500x2000x2000 mm dengan kemampuan giling lima m3 per jam. Sementara, AE20 ukurannya hanya 750x1000x1000 mm. Kemampuan giling MPS terkecil hasil produksi AMB ini adalah dua m3 per jam.

Menurut Dedi Nurkaedi, manager job order AMB, kepada Republika beberapa pekan silam, MPS telah diproduksi sejak tahun 2002 yang lalu. Pihaknya telah melakukan riset terlebih dahulu semenjak tahun 2000. Sejauh ini, tiga buah MPS telah terjual. Satu buah tipe AE400, dan dua buah tipe AE100. Masing-masing di tempatkan di TPA Tangerang, Garut dan Sukabumi.

Untuk saat ini memang target penjualan masih difokuskan kepada Pemerintah Daerah. Mengenai hal ini, Dedi beralasan bahwa wewenang untuk mengelola sampah sampai saat ini memang seolah-olah masih ada pada pemerintah daerah, khususnya, dinas kebersihan.

Namun, Dedi menambahkan sebetulnya masyarakat pun, bila mau, bisa turut berperan aktif. Untuk itu, tipe AE50 dan AE20 memang dirancang berukuran lebih kecil karena ditujukan untuk kepentingan pemukiman.

Mengenai harga penjualan, untuk yang tipe AE400 adalah Rp 650 juta. Sedangkan tipe AE100 ditawarkan Rp 450 juta. Mengenai tipe AE50 dan AE20, hingga kini belum ada penetapan harga yang pasti. Hal ini, menurut Dedi, disebabkan selain harga bahan baku yang belum stabil, pasarnya pun dirasa belum jelas.

Masyarakat Bisa Turut Berperan

Selama ini mekanisme pengelolaan sampah dilakukan secara konvensional. Sampah yang dibuang di Tempat Pembuangan Sementara (TPS), kemudian diangkut oleh truk-truk pengangkut sampah menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Namun, masalah mulai muncul ketika truk-truk tersebut terlambat dalam mengangkut sampah. Akibatnya, terjadi proses pembusukan sampah yang dapat mengundang lalat, nyamuk, dan tikus. Tentu saja, kondisi tersebut mengakibatkan kualitas lingkungan hidup wilayah sekitarnya menjadi kurang kondusif. Selain menimbulkan polusi udara dengan baunya yang sangat tidak sedap, sampah juga bisa menjadi sarang wabah penyakit.

Sebetulnya, tugas penanggulangan sampah tidak sepenuhnya harus bergantung pada pemerintah. Masyarakat pun, sebagai penyumbang sampah, sudah sepantasnya turut berperan serta dalam proses penanggulangannya.

Setidaknya, mulai memilah-milah mana sampah organik dan non-organik. Tentu saja hal ini akan memudahkan dalam penanggulangan pengelolaannya. Namun, bila tertarik untuk ikut mengelola sampah pun rasanya bukan ide yang buruk. Apalagi, bila tahu caranya, sampah tersebut bisa diolah sehingga menjandi kompos yang bisa menyuburkan tanaman. Atau, bisa juga diperdagangkan sehingga dari sampah pun bisa menghasilkan uang.

Apalagi, MAB telah siap membantu dengan menyediakan MPS yang dirancang untuk pemukiman. Tak ada salahnya apabila satu kelurahan, misalnya, memiliki satu buah MPS. Selain membantu pemerintah daerah dalam menanggulangi masalah sampah yang tiap hari bertambah, hasil penjualan kompos bisa mengganti biaya operasional. Sisanya, bisa dimanfaatkan sesuai dengan kesepakatan warga sekitar.

Post Date : 06 Oktober 2005