Jakarta, Kompas - Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim menilai pemerintah terjebak dalam model lama penanganan perubahan iklim. Hasil Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2009 dinilai tak mencerminkan kepentingan Indonesia.
”Uang penting, tetapi bukan obat. Pemerintah harus mengubah tata kelola pemerintahannya dulu,” kata Koordinator Forum Masyarakat Sipil (CSF) untuk Keadilan Iklim Giorgio Budi Indarto pada jumpa wartawan pascakonferensi perubahan iklim di Jakarta, Senin (28/12).
Tanpa perubahan tata kelola, di antaranya mengubah cara pandang terhadap kehutanan dan kelautan yang sebatas komoditas, masa depan Indonesia tak akan jelas. Potensi sumber daya hutan dan laut lambat laun akan kian jauh dari jangkauan rakyat.
Atas nama mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, delegasi Indonesia membuat sejumlah perjanjian bilateral dan multilateral dengan negara maju—secara historis harus bertanggung jawab akan perubahan iklim.
Pada konferensi di Kopenhagen, Denmark, yang berakhir pekan lalu, setidaknya ada 9 perjanjian bilateral dan multilateral. ”Melalui perjanjian itu, Indonesia secara sukarela menjadi tempat ’mencuci dosa’ negara industri dengan ongkos sangat murah,” kata Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economic.
Melalui bantuan pendanaan yang kecil, negara-negara maju seakan sudah menebus kesalahannya mencemari atmosfer dengan gas rumah kaca penyebab pemanasan global. ”Pada saatnya, utang akan mengikat Indonesia yang secara historis dan hukum tak memiliki kewajiban menurunkan emisi,” kata Hendro.
Belajar dari pengalaman
Berbagai fakta menunjukkan, kucuran dana hasil perjanjian bilateral tak membawa perubahan berarti, misalnya program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (gerhan). Triliunan rupiah dana tidak diimbangi informasi keberhasilan program di lapangan.
Sektor kehutanan dan kelautan merupakan salah satu area tempat kerusakan paling gamblang. Hutan terus dieksploitasi ketika Indonesia berkampanye pentingnya peran hutan untuk menyerap emisi CO. Sementara isu kelautan terkait perubahan iklim kurang disuarakan dalam konferensi yang dihadiri 193 negara di Kopenhagen. Padahal, Indonesia memprakarsai Konferensi Kelautan Sedunia (WOC) yang menghasilkan Deklarasi Kelautan Manado (MOD).
Di tingkat operasional, penanggulangan perubahan iklim kurang diadopsi di dalam rencana program pemerintah. ”Dalam program 100 hari bidang perekonomian, hanya pola-pola eksploitasi sumber daya alam yang mengemuka,” kata Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik. Menurut dia, dalam 19 butir program prioritas, sama sekali tidak terlihat respons negara terhadap perubahan iklim. Di kancah global, Indonesia siap turunkan emisi 26 persen. (GSA)
Post Date : 29 Desember 2009
|