Manokwari, Kompas - Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja di Manokwari, Papua Barat, menjadi tempat pembuangan sampah liar. Kantong-kantong plastik besar berisi sampah menumpuk di beberapa titik jalan aspal yang membelah TWA Gunung Meja dari daerah Sarinah hingga ke Kampung Ayambori di Distrik Manokwari Barat. Tumpukan sampah juga terdapat di kawasan hutan TWA Gunung Meja.
Bukan hanya warga yang membuang sampah di sana, petugas kebersihan di Manokwari juga membuang sampah di Gunung Meja. Beberapa waktu lalu warga Kampung Ayambori memergoki truk sampah milik Dinas Pekerjaan Umum Manokwari akan membuang sampah ke hutan Gunung Meja.
”Truk sampah mau buang sampah, tetapi tidak jadi karena lihat ada pemuda-pemuda kampung yang sedang duduk-duduk di dekat gerbang masuk TWA Gunung Meja,” kata Yermias Mandacan, kepala suku di Kampung Ayambori, Senin (13/6) di Manokwari.
Warga menduga, kejadian tersebut bukan yang pertama kali. Hal ini karena di hutan setidaknya ada tiga titik tumpukan kantong plastik besar penuh sampah. Hal ini membuat warga, yang kurang dari 1 kilometer dari lokasi tumpukan sampah, protes. Bau busuk sering tercium saat mereka melintasi jalan itu.
Setiap hari ada saja warga yang seenaknya membuang sampah di TWA Gunung Meja. Warga melemparkan kantong sampahnya sembari melintas dengan mobil atau motornya.
Sudah lama
Menurut Polisi Kehutanan sekaligus Kepala Resor Manokwari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Manokwari Papua Barat Ahmad Munajid, perilaku membuang sampah di TWA Gunung Meja sudah berlangsung lama. Upaya pencegahan masih terbatas imbauan, belum sampai tindakan. ”Jumlah petugas yang mengontrol hutan konservasi seluas 462 hektar itu hanya satu orang,” katanya.
Kepala Kampung Ayambori Kornelis Mandacan mengeluhkan ketidakpedulian warga Manokwari terhadap lingkungan. Jika hutan Gunung Meja rusak, berarti pasokan air bersih untuk Manokwari akan berkurang. Padahal, sumber utama air bersih di pusat kota dipenuhi dari 12 mata air di TWA Gunung Meja.
Sampah adalah masalah di Manokwari yang belum terselesaikan. Produksi sampah 86 ton, tetapi hanya separo yang terangkut ke tempat sampah.
Dari Pontianak dilaporkan, konflik antara masyarakat adat dan pengelola Taman Nasional Betung Kerihun, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, masih berpotensi terjadi meski sudah ada nota kesepahaman antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, kedua pihak harus mengintensifkan komunikasi agar konflik tidak terjadi.
Temenggung Dayak Tanambaloh Pius Onyang pekan lalu mengatakan, sebagian hak masyarakat adat Dayak Tanambaloh dan Dayak Iban hilang pasca-penetapan wilayah taman nasional. ”Kami mau memotong kayu untuk keperluan rumah saja tidak bisa. Padahal, dulu kami bisa,” kata Onyang.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun Joko Prihatno mengatakan, pemerintah telah menetapkan hutan sesuai fungsi dan peruntukannya. ”Pengambilan kayu di area konservasi dilarang undang-undang. Masyarakat bisa mengambil kayu di hutan produksi dengan terlebih dahulu izin kepada pemerintah,” katanya. (AHA/THT)
Post Date : 14 Juni 2011
|