Tuntaskan Darurat Sampah dengan Sanitary Landfill

Sumber:Suara Pembaruan - 24 Mei 2006
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Akhir-akhir ini Kota Bandung dan sekitarnya telah berubah menjadi lautan sampah. Darurat sampah di Bandung yang sempat menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu hingga kini belum mendapatkan solusi jitu. Hal itu karena pemerintah daerah kesulitan mencari TPA (tempat pembuangan akhir) sampah serta kebingungan dalam menentukan spesifikasi teknologi.

Penentuan TPA saja tanpa memilih spesifikasi teknologi yang tepat hanya akan menunda datangnya malapetaka. Selain itu kesalahan perencanaan yang disertai lemahnya pengawasan dalam membangun TPA justru akan menjadi sumber manipulasi dan korupsi yang dapat melahirkan bencana dikemudian hari. Oleh sebab itu, kredo pembangunan TPA sebagai sistem pembuangan yang tersentral harus efisien secara ekonomi maupun ekologi.

Pembangunan TPA sampah di kawasan Bandung Raya yang rencananya meliputi wilayah timur dan barat tidak bisa dipaksakan asal jadi. Problem darurat sampah akibat overload TPS di Kota Bandung hendaknya tidak menyebabkan jalan pintas dalam membangun TPA. Begitupun alternatif untuk membangun insinerator atau alat pembakar sampah guna mengurangi beban TPS tersebut bisa menjadi langkah pemborosan serta dapat melahirkan masalah yang baru.

Pasalnya, alat atau instalasi yang diklaim sebagai insinerator itu dari aspek teknologi ternyata hanyalah tungku pembakaran biasa yang sangat boros BBM dan harganya kelewat mahal. Sehingga proses pembakaran sampah, utamanya sampah yang sulit diurai seperti sampah industri kimia, menjadi tidak sempurna karena spesifikasi insinerator tidak terpenuhi.

Yang mana idealnya setiap saat unjuk kerja insinerator terkontrol dengan suhu minimal 1.000 derajat celsius. Sehingga segala jenis logam, pecahan kaca, dan plastik akan menjadi abu putih yang tidak berbahaya lagi.

Namun pada kenyataannya hampir semua instalasi pembakaran sampah yang diklaim sebagai insinerator ternyata hanya sekedar tungku pembakaran biasa. Tungku itu kebanyakan hanya bersuhu kurang dari 800 derajat celsius dan tidak mampu menghancurkan pecahan kaca atau logam. Jika sampah yang telah dibakar itu dibuang ke TPAS, maka tidak ada bedanya jika sampah itu dibuang secara utuh.

Sarat Manipulasi

Krisis penanganan sampah di Bandung secara garis besar meliputi tiga hal, yaitu lokasi, infrastruktur, dan teknologi. Permasalahan lokasi atau yang lazim disebut TPA sampah selalu saja memicu konflik dengan warga setempat atau sekitar lokasi yang merasa dirugikan akibat polusi yang menurunkan kualitas lingkungan hidup mereka.

Pada umumnya teknologi pengelolaan sampah yang diterapkan oleh pemerintah daerah hingga saat ini masih sangat memprihatinkan. Selain masih primitif, juga banyak sistem dan instalasi pengolahan sampah yang sarat dengan manipulasi. Baik itu manipulasi teknologi, spesifikasi, unjuk kerja sampai manipulasi harga dan biaya operasi. Untuk itu perlunya dilakukan audit teknologi dan biaya dalam menangani persoalan sampah.

Banyak instalasi pengolahan sampah yang memakan biaya miliaran rupiah, tetapi mengalami kesalahan teknis yang serius sehingga unjuk kerjanya tidak sesuai dengan requirement. Anehnya kesalahan itu dibiarkan begitu saja dan instalasi terus dioperasikan. Sudah waktunya pemerintah daerah menerapkan prinsip sanitary landfill yang sebenar-benarnya dalam membangun TPA melalui proses tender yang ketat dan fair.

Perlu diketahui bahwa sanitary landfill adalah suatu sistem pengelolaan sampah yang mengembangkan lahan cekungan dengan syarat tertentu, antara lain jenis dan porositas tanah. Dasar cekungan pada sistem ini dilapisi geotekstil. Yakni lapisan yang menyerupai plastik yang dapat mencegah peresapan lindi (limbah cair berbahaya) ke dalam tanah.

Di atas lapisan ini dibuat jaringan pipa yang akan mengalirkan lindi ke kolam penampungan. Lindi yang telah melalui instalasi pengolahan baru dapat dibuang ke sungai. Sistem ini juga mensyaratkan sampah diuruk dengan tanah setebal 15 cm tiap kali timbunan yang mencapai ketinggian dua meter.

Beberapa pemerintah daerah selama ini berani mengklaim telah menerapkan sistem sanitary landfill dalam mengelola sampah. Namun pada kenyataannya sistem yang mereka gunakan tak lebih dari sekadar menumpuk sampah.

Menurut para pakar dari perguruan tinggi, pada saat ini sangat jarang TPA sampah di Indonesia yang menerapkan sistem sanitary landfill dalam arti yang sebenar-benarnya. Yang mereka lakukan hanya sekadar menumpuk sampah lalu begitu saja menimbunnya kedalam tanah. Sistem sanitary landfill yang sejati tentunya harus memenuhi desain teknis tertentu sehingga sampah yang dimaksudkan ke tanah tidak mencemarkan tanah dan air tanah.

Di sejumlah negara maju, sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir, sampah dipilah terlebih dahulu antara sampah organik dan non-organik. Sampah seperti pecahan kaca, logam, dan plastik dibakar dulu hingga menjadi abu sebelum ditimbun. Sampah yang mudah terdegradasi seperti sisa makanan, digiling terlebih dulu sebelum ditimbun.

Dasar TPA dilapisi bahan kedap air dan diberi saluran untuk cairan lindi. Selain itu di dekat TPA harus ada beberapa sumur kontrol guna mendeteksi apakah air tanah di sekitar sudah tercemar.

Hingga saat ini sebagian besar TPA sampah yang dibangun di Indonesia tidak menerapkan sistem sanitary landfill. Namun hanya menggunakan sistem open dumping alias model curah yang lebih pri- mitif.

Dalam sistem open dumping yang primitif itu sampah hanya ditumpuk bergunung-gunung. Jika sistem ini dilengkapi lapisan dasar kedap air dan saluran untuk lindi masih dianggap lumayan. Jika tidak maka sangat berbahaya karena sampah akan mencemari tanah dan air tanah. Dan pencemar yang sangat berbahaya adalah berupa bakteri e-coli dan logam berat.

Parahnya lagi sistem open dumping yang digunakan ternyata masih disertai dengan pembakaran sampah. Padahal, pembakaran sampah itu menurut ilmu lingkungan haram hukumnya. Karena pembakaran sampah hanya menghasilkan oksidan berbahaya bagi kesehatan. Apalagi kalau sampah yang dibakar adalah sampah non-organik, seperti plastik, kaca, atau logam.

Jika itu dilakukan sama saja dengan memindahkan sampah di permukaan tanah ke udara dalam bentuk oksidan. Yang tidak kalah penting adalah menyangkut mentalitas masyarakat dan pemerintah masih sulit dalam menciptakan sistem kelola sampah yang lebih beradab. Perilaku terhadap sampah bila dibandingkan dengan masya-rakat di negara maju begitu kontradiktif.

Di sana sejak usia belia hingga lansia sudah tertanam dalam otak mereka untuk memilah sendiri mana sampah organik dan mana yang anorganik. Demikian pula cara pandang orang terhadap sampah merupakan akar masalah mengapa pengelolaan sampah di kota-kota besar di Indonesia begitu amburadul.

Kondisinya diperparah lagi dengan komitmen pemerintah yang rendah dan tidak profesional dalam membangun sistem kelola sampah modern yang berbasis ekologi. Oleh Totok Siswantara Penulis adalah pengkaji masalah transformasi teknologi dan industri

Post Date : 24 Mei 2006