|
Bandung, Kompas - Sebuah backhoe bantuan pemerintah, Senin (13/6), masih digunakan untuk meratakan beberapa tumpukan sampah yang menggunung sisa longsoran di Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah. Langkah tersebut dilakukan untuk mengantisipasi longsoran kecil yang masih mungkin terjadi. Dengan demikian, diharapkan gas metan yang terkandung di dalamnya bisa terurai. Gas metan, unsur yang mudah meledak dan terbakar, masih terlihat mengepul di beberapa titik. Beberapa lubang yang mengeluarkan gas tersebut sengaja dibakar untuk mengurangi polusi dan bau tidak sedap. "Dengan pemerataan itu, warga tidak waswas lagi akan longsor. Selama ini mereka masih trauma," ujar Oma (35), seorang pemulung sampah. Selain pemerataan, warga juga membuat saluran untuk mengalirkan rembesan air lindi. Air berwarna hitam tersebut dialirkan menuju ke selokan terdekat. Pemulung masih operasi Hingga hari Senin (13/6) masih terdapat pemulung di TPA Leuwigajah. Para pemulung tersebut memungut sisa-sisa sampah yang masih bisa dimanfaatkan, seperti plastik dan logam. Kerja mereka terbantu oleh mesin backhoe milik pemerintah yang hingga kini masih beroperasi meratakan timbunan sampah. Sampah-sampah yang dipungut para pemulung bukan sampah baru. Sebab, sejak bencana longsor 21 Februari 2005, praktis tidak ada pembuangan sampah ke TPA Leuwigajah. Dibanding ketika TPA masih berfungsi, jumlah pemulung sampah saat ini berkurang banyak. Pada hamparan sekitar 25 hektar itu hanya terlihat puluhan pemulung. Padahal, dulu terdapat ribuan pemulung yang bekerja di TPA tersebut. Menurut Oma, warga Cilimus, banyak di antara mereka yang tadinya bukan pemulung, termasuk dirinya. Namun sekarang mereka terpaksa menjadi pemulung. "Dulu saya kerja di pabrik mebel. Tapi sejak dua minggu lalu saya kena pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujar Oma yang rumahnya ikut terkena dampak longsor. Akhi (25) menyatakan hal senada. Semula ia juga bekerja di perusahaan mebel, tetapi saat ini sedang tidak ada pekerjaan. "Daripada enggak ada kerjaan, mending mulung," katanya. Dalam sehari rata-rata mereka bisa mendapatkan dua karung plastik yang dihargai kurang dari Rp 1.000 per kilogram. Oma dan beberapa warga lain yang ditemui saat beristirahat mengatakan, hingga saat ini mereka masih menunggu bantuan yang dijanjikan pemerintah. Oma, yang kini tinggal di rumah kontrakan di daerah Citunjung, mengatakan sudah dua kali pemberian bantuan ditunda. "Katanya sih Rabu besok mau dibagikan di kecamatan," ujarnya. Beredar kabar di kalangan warga, dana yang belum disalurkan itu sebesar Rp 1,2 miliar yang berasal dari bantuan berbagai pihak. Dia tidak mengerti kenapa pemberian bantuan selalu ditunda. Sebelumnya, Oma dan warga lain telah menerima bantuan untuk mengontrak rumah sebesar Rp 1 juta. Meskipun demikian, rumah- rumah kosong yang mereka tinggalkan tetap mereka rawat. "Takutnya bantuan selanjutnya enggak turun, padahal kontrakan sudah habis," tutur Oma. Meskipun tidak tertimpa longsoran, rumah Oma terletak dalam radius berbahaya yang ditetapkan pemerintah, yakni kurang dari 200 meter dari longsoran sampah. Saat ini warga yang sebelumnya mengungsi sudah mendapat biaya kontrakan dan menyebar ke beberapa wilayah. Akibat longsor sampah di TPA Leuwigajah bulan Februari lalu, lebih dari 100 orang meninggal dunia. (D06/D08) Post Date : 14 Juni 2005 |