|
TANPA banyak diketahui, bahkan diemohi sebagian besar masyarakat lantaran dianggap menjijikkan, bisnis pemulung di Bantar Gebang menghasilkan putaran uang minimal Rp 1,5 miliar per hari. Bahkan jika produksi kompos dari sampah dilakukan secara optimal melalui sistem pabrikasi terpadu, dapat diperoleh devisa 897.000 dollar AS per hari atau setara Rp 7,62 miliar. Dalam setahun, bisnis ini menghasilkan 2,78 triliun rupiah melebihi 20 persen APBD DKI Jakarta! GUNUNGAN sampah berbau busuk beserta kerumunan lalat dan timbunan belatung sepintas lalu memang hanya menimbulkan kesan menjijikkan. Padahal, sebelum terjadi pertikaian antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi, Bantar Gebang menjadi tempat menyambung hidup sekitar 6.000 pemulung dari pelbagai daerah minus di Jawa dan Sumatera. Produktivitas mereka menghasilkan perputaran uang miliaran rupiah setiap hari. Bahkan terjadi efek berganda dengan munculnya bisnis ojek, angkutan bus, warung, bahkan pedagang emas di sekitar lokasi penampungan sampah tersebut. Sementara nilai barang bekas yang mereka temukan meningkat berlipat ganda saat dijual dari pemilik lapak kepada pabrik daur ulang sampah. Pendapatan harian hingga puluhan miliar rupiah yang fantastis ditambah strategi penanganan sampah terpadu terangkum dari wawancara dengan sejumlah ketua kelompok pemulung barang bekas di sekitar Bantar Gebang. Hal itu terungkap pula melalui wawancara dengan Ketua Tim Program Pemberdayaan Masyarakat Squatter (PPMS) A Ginandjar R, Presiden Direktur PT Indonusa Asri Aliansi Azril Azahari yang mengolah sampah organik menjadi pupuk alami, dan Coordinator Southeast Asia Toxics Program World Wildlife Fund (WWF) Indonesia Lukas Laksono Adhyakso. Meski dianggap sumber penyakit dan kerawanan sosial, gunungan sampah sebenarnya memiliki nilai ekonomis menggiurkan. Apalagi jika dikelola secara benar dapat dicapai zero pollution recycle karena seluruh sampah dimanfaatkan tanpa menyisakan residu. Sampah anorganik yang ditemukan pemulung didaur ulang untuk pelbagai keperluan. Sedangkan seluruh sampah organik diolah menjadi pupuk padat dan cair yang diekspor ke Amerika Utara sehingga menghasilkan devisa. TARMIN (35) seorang ketua kelompok pemulung yang lazim disebut bos lapak mengatakan, bisnis yang mereka sebut sebagai mengolah sampah-memulung-sangat fluktuatif tetapi tetap menjanjikan. Setelah empat belas tahun merintis usaha, berawal sebagai pemulung biasa, kini dia memiliki empat puluh anak buah, rumah di kampung, dan empat unit sepeda motor keluaran terbaru. "Sepertinya ini usaha sepele, padahal setiap hari kelompok saya bisa mengolah puluhan ton sampah. Dari memulung sampah dihasilkan dagangan sekitar lima ton yang tiap sepuluh atau lima belas hari dijual ke pabrik," kata Tarmin yang hampir dua tahun jadi pemulung sebelum mengumpulkan modal lalu menjadi juragan lapak. Di bedeng penampungan Cikiwul RT 4/IV, Tarmin menumpuk beragam barang bekas, mulai plastik, kaleng, besi, botol, dan lain-lain. Baginya yang paling menguntungkan adalah mengolah kaleng bekas minuman yang laku dijual Rp 6.000 per kilogram. Setiap kali transaksi, kelompok Tarmin dapat menghasilkan Rp 1.080.000 dari penjualan sekitar 1,8 kuintal kaleng minuman. Menjual botol plastik air mineral juga menjadi primadona dengan harga beli Rp 700 per kilogram dapat dijual kembali ke pabrik seharga Rp 2.000 per kilogram. Sebagai bos, demikian panggilan para juragan lapak, mereka harus memenuhi kebutuhan harian para pemulung berupa uang makan, rokok, biaya kesehatan, dan lain-lain. Setiap hari, seorang pemulung mendapat uang makan sekitar Rp 20.000 yang dibelikan nasi bungkus Rp 2.500 per bungkus dengan lauk tempe dan sayur tiga kali sehari. Ada juga biaya rokok, obat, dan transportasi seperti ojek di sekitar lokasi sebesar Rp 3.000-5.000. Seluruh biaya tersebut menjadi tanggungan bos yang sebaliknya diimbangi kewajiban pemulung untuk menyetorkan barang olahan kepada pimpinan mereka. Tarmin dan para bos lapak juga membangun permukiman mini untuk kelompok masing-masing di dekat bedeng penampungan barang bekas. "Pembayaran sampah olahan setiap pemulung juga bervariasi antara Rp 30.000 hingga Rp 70.000 tergantung hasil kerja mereka. Penghasilan para pemulung tiap bulan tidak kurang dari Rp 600.000 belum termasuk biaya makan yang ditanggung masing-masing bos," kata pria asal Indramayu. Pelbagai kutipan dari instansi hingga oknum kelompok pemuda pun harus di tanggung oleh sang bos lapak. Menurut Tarmin, tahun lalu dirinya mengeluarkan biaya sekitar Rp 7 juta untuk memberi uang sumbangan bagi aparat pemerintah hingga kelompok pemuda yang memberi jasa keamanan. Lain lagi cerita bos lapak Roshid (40) dengan anggota kelompok lebih kecil, hanya sepuluh orang, dia harus lebih cermat mencari barang olahan. Pasalnya, satu tumpukan sampah yang baru dituang truk bisa dikerubuti sejumlah kelompok pemulung yang mengorek Kelompok Roshid juga memburu pelbagai barang bekas. Saat ditemui pekan ini, di tempat penampungannya terlihat tumpukan plastik dan kaleng yang siap dijual. Plastik yang dibeli dari pemulung seharga Rp 700 per kilogram dibersihkan oleh Roshid, selanjutnya dijual ke pabrik seharga Rp 2.500 per kilogram. Keuntungan tipis diperoleh dari menjual kaleng yang dibeli Rp 200 per kilogram kemudian dijual seharga Rp 250 per kilogram. Harga cukup tinggi diperoleh dari jual beli aluminium yang dibeli dari pemulung Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram kemudian dijual Rp 10.000-Rp 12.000 per kilogram ke pabrik. "Para pemulung harus memiliki toleransi saat bekerja mengorek sampah secara kerubutan di lokasi sampah buangan baru. Tak jarang tanpa sengaja tubuh mereka tertusuk ganco-besi penusuk sampah-sesama pemulung. Namun, insiden ini tidak memicu perkelahian antar kelompok," kata Roshid. Bisnis sampah anorganik memang menggiurkan. Sekurangnya dalam data Program Pemberdayaan Masyarakat Squatter (PPMS) tercatat empat puluh enam jenis sampah anorganik dan dua jenis sampah organik yang menjadi komoditas di Bantar Gebang. Komoditas tersebut beragam, dari plastik yang masuk dalam empat kategori, aluminium, besi, kaleng, tali sendal, busa spons, kayu, kardus, obat kedaluwarsa, 13 jenis botol, karet ban dalam, dan lain-lain. Harga jual komoditas pun bervariasi. Tercatat harga tertinggi adalah limbah kayu Rp 80.000 per truk, tembaga Rp 9.000 per kilogram, kuningan Rp 7.500 per kilogram, hingga bulu ayam yang dijual Rp 200 per kilogram atau tulang Rp 450 per kilogram. Bahkan ada lima orang tukang emas yang beroperasi khusus menampung perhiasan yang ditemukan pemulung di Bantar Gebang! A Ginandjar R yang mendampingi ratusan pemulung sejak beberapa tahun terakhir mencatat, setiap hari aktivitas bisnis sampah antara pemulung-bos lapak menghasilkan uang sekurangnya Rp 1,5 miliar. Belum lagi dampak berganda dengan tumbuhnya usaha ojek, warung makan, dan aktivitas ekonomi ikutan. Transaksi bos lapak dengan pabrik daur ulang pun menghasilkan putaran uang sekurangnya Rp 3 miliar per hari. SAMPAH domestik bukanlah lawan, penanganan dan pemanfaatan sampah secara benar justru meningkatkan nilai ekonomis, membuka peluang kerja, dan terpenting yakni penyelamatan lingkungan. Fenomena inilah yang belum disadari oleh kalangan pembuat kebijakan di DKI Jakarta yang selama ini memiliki pendekatan "proyek" dan pola pikir "dengan melakukan ini, saya dapat apa". Penanganan sampah di Jakarta menurut Koordinator Southeast Asia Toxics Program World Wildlife Fund Indonesia Lukas Laksono Adhyakso sudah salah kaprah. Tahap pertama penanganan sampah, yakni segregasi yaitu memilah sampah organik dan non-organik serta pemisahan sampah basah dengan sampah kering tidak dilakukan di tingkat rumah tangga atau pun tempat usaha. Sementara tahap akhir berupa pengolahan sampah dengan daur ulang bahan non-organik serta pembuatan kompos dari sampah organik belum dilakukan secara terpadu. "Tahap segregasi sampah seharusnya dilakukan secara serius untuk memudahkan daur ulang dan pembuatan kompos alami. Trend globalisasi yang mendorong perdagangan antarwilayah yang tentunya melibatkan banyak bahan pembungkus sehingga menambah volume sampah pun belum diantisipasi Pemerintah DKI dan secara nasional. Namun, kebijakan yang diambil dalam kasus Bantar Gebang justru semakin fatal dengan membuang sampah ke rawa yang berfungsi mengendalikan air di Jakarta yang rawan banjir," tutur Lukas. Sejalan dengan pendapat Lukas, Presiden Direktur PT Indonusa Asri Aliansi Azril Azahari menjelaskan, penanganan sampah di Jabotabek terutama di DKI Jakarta sangat berbahaya bagi keseimbangan lingkungan hidup. Sistem yang dianggap aman, yakni sanitary landfill pun ternyata berbahaya bagi lingkungan karena resapan cairan sampah yang disebut leachate (lindi-Red) merembes ke dalam aliran air tanah. "Sistem sanitary landfill sudah ditinggalkan di pelbagai negara berkembang, sementara konsep ini masih digunakan Pemerintah DKI untuk menangani sampah di Bantar Gebang. Demikian pula penggunaan incinerator-tungku pembakar-mulai ditinggalkan karena berdampak pada polusi udara yang bahkan turut memberi andil dalam menciptakan lubang ozon," kata Azril yang sedang mematangkan investasi pengolahan sampah terpadu di Bekasi, Padang, dan Bandung. Dewasa ini di negara maju di Kanada, Amerika, beberapa negara Eropa, dan sejumlah negara berkembang, seperti RRC yang memiliki tingkat polusi sampah sangat tinggi, telah mengembangkan pabrik pengolah sampah yang sangat efisien. Seluruh sampah diolah secara sempurna, sampah organik menjadi pupuk, sedangkan sampah non-organik didaur ulang. Tidak ada yang tersisa dari limbah yang semula dianggap bermasalah. Proses pembuatan pupuk berlangsung selama 3x24 jam lebih singkat dibandingkan dengan pembuatan pupuk konvensional yang memakan waktu 2-3 bulan! Pupuk organik keluaran pabrik tersebut berwujud butiran granule, atau cairan yang semuanya diekspor ke negara maju di Amerika Utara. Pupuk ini masuk kategori pupuk organis sehingga lebih diminati konsumen karena ramah lingkungan. Apalagi jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang merusak tanah dan berdampak pada kesehatan manusia akibat akumulasi bahan berbahaya. Pupuk organik ini pun memiliki harga jual separuh harga pupuk non-organik, tetapi menghasilkan produktivitas panen satu setengah kali lebih banyak dibandingkan bila menggunakan pupuk kimia. Ditinjau dari potensi bisnisnya, harga pupuk organik lebih tinggi dan dapat jadi komoditas ekspor. Dari segi harga pun terkontrol karena ada asosiasi internasional yang menetapkan harga jual minimal sebesar 1.500 dollar AS per ton pupuk cair dan 800 dollar AS per ton pupuk granule. Mekanisme ekspor ini sekaligus mengamankan nilai investasi yang dilakukan dengan menggunakan mesin impor dari Kanada. Setiap mesin dari satu unit pabrik itu mampu mengolah 220 ton sampah per hari yang menghasilkan 14,30 ton sampah padat dan 14,30 ton sampah cair. Dalam hitungan di atas kertas, investasi sebuah pabrik (return on investment/ROI) akan kembali dalam tiga tahun. Kiat ini memberdayakan sampah yang dihasilkan masyarakat menjadi sumber devisa. Manfaat ganda juga diperoleh para pemulung. Mereka dipekerjakan di pabrik untuk menyortir sampah di atas ban berjalan. Sampah non-organik yang disisihkan selanjutnya dijual ke pabrik daur ulang dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan para pemulung. Apabila mekanisme ini diterapkan untuk mengolah 6.000 ton sampah DKI tentu sangat menggiurkan karena setiap bulan mendatangkan devisa 26.910.000 dollar AS atau Rp 228,735 miliar per bulan. Melihat peluang dan potensi yang ada, sudah sepantasnya Bantar Gebang dipandang sebagai bagian penting manajemen kota. Pemasukan pajak bagi negara dan DKI dapat dihasilkan dari gunungan sampah yang selama belasan tahun dibiarkan mubazir.(Iwan Santosa) Post Date : 10 Januari 2004 |