|
TANGERANG (Media): Tujuh warga dari tiga kecamatan, yakni Kecamatan Suka Sari, Pakuhaji, dan Sepatan, Kabupaten Tangerang, tewas terserang wabah muntaber sejak 8 Juni lalu. Selain itu, sekitar seratus warga lainnya sempat memperoleh perawatan intensif sebelum dirujuk ke rumah sakit. Tujuh warga yang meninggal itu, antara lain Della, 15 bulan, tewas kemarin sekitar pukul 14.21 WIB, Taufik, 4, tewas Minggu (19/6), dan pada Sabtu (18/6) Amaludin mengalami hal yang sama. Ketiganya meninggal dalam penanganan dokter ketika tiba di Puskemas Sepatan, Jl Raya Mauk, Kabupaten Tangerang. Tiga balita itu tiba di puskesmas dalam kondisi kritis sehingga tidak tertolong oleh petugas. Menurut keterangan dr Ida Mayesti Arwan ketika ditemui Media di Puskesmas Sepatan sebagai dokter yang bertugas kemarin sore, empat orang lainnya meninggal sebelum dikirim ke puskesmas. "Mereka yang tewas karena terlambat dibawa ke sini, sehingga terlambat untuk ditangani. Bahkan, empat di antaranya tewas sebelum sampai ke sini," jelas Ida. Contoh kasus Della, salah satu balita yang meninggal ketika belum lama ditangani dokter di Puskesmas Sepatan. Orang tuanya, Mapsir dan Yunita Sari, hanya bisa menangis saat mengetahui anaknya sudah meninggal. Della dibawa orang tuanya ke puskesmas dalam kondisi kritis dan wajah membiru. "Sebelum diinfus, balita itu sudah meninggal. Kebanyakan orang tua di tiga kecamatan ini tidak paham tentang kesehatan, sehingga mereka membawa anaknya saat tidak mempan dengan obat warung," terang Ida. Contoh lainnya, Taufik, warga Rawa Boni, Kecamatan Pakuhaji, yang dibawa orang tuanya ke Puskesmas Sepatan sekitar pukul 02.00 WIB (19/6) juga dalam kondisi kritis. Ia meninggal sebelum dokter memberi infus. Amaludin juga meninggal karena terlambat dirawat. Menurut Ida, kasus muntaber ini terjadi karena masyarakat tidak menjaga lingkungannya. "Mereka buang air besar di sembarangan tempat karena jarang yang mempunyai WC. Selain itu, musim hujan saya kira memudahkan wabah muntaber menyebar, dan bukan tidak mungkin menjadi penyebab kejadian ini. Yang pasti, kami belum mengetahui penyebab pasti kasus ini sampai ada penelitian," ujarnya. Karena pasien terus bertambah, puskesmas ini pun kewalahan menampung mereka. Puskesmas yang seharusnya bukan sebagai tempat rawat inap ini disulap untuk menampung pasien yang terus berdatangan. "Puskesmas kan bukan tempat rawat inap, tapi karena keadaannya seperti ini, kami harus menampung pasien yang datang. Apalagi pasien muntaber harus segera mendapat pertolongan," ujar Ida. Dituturkan Ida, puskesmas tempatnya bertugas sudah menampung sekitar seratus warga yang mengeluh muntaber. Berdasarkan pemantauan Media hingga pukul 04.30, ada 21 pasien yang dirawat di puskesmas itu. "Bukan tidak mungkin, pasien akan terus bertambah," ujar Ida. Kebanyakan dari mereka yang terserang muntaber ialah anak-anak di bawah umur sepuluh tahun. Ironisnya, karena keterbatasan tempat, mereka ditampung di bangku-bangku panjang yang ada di ruang tunggu dan teras puskesmas. Hanya empat pasien yang menempati empat tempat tidur, dan salah satunya di ruang tunggu puskesmas. Cairan infus yang mengalir ke tubuh pasien yang tidak memperoleh tempat tidur digantungkan pada paku-paku di dinding yang dipasang secara dadakan. (NG/J-3) Post Date : 21 Juni 2005 |