Trauma Seorang Anak Korban Banjir...

Sumber:Kompas - 05 Januari 2006
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Sebelum banjir bandang melanda desanya, Alifah (2), anak dari Rohma (31), warga Desa Suci, Kecamatan Panti, dikenal sebagai anak yang periang dan lincah. Namun, setelah banjir berlalu, Alifah berubah drastis menjadi anak yang pendiam dan selalu ketakutan.

Saat air bah secara tiba-tiba menyerbu pada Senin (2/1) dini hari, Rohma bersama anaknya yang lain, Alifah, dan ibunya masih sempat naik ke atas atap rumah dengan menggunakan tangga. Alifah yang tadinya sedang tidur kemudian terbangun dan menangis.

Suara gemuruh banjir bandang yang menerjang rumahnya membuat Rohma sekeluarga panik. Sambil menangis, mereka sekeluarga naik ke atas atap rumah. Sampai siang hari, saat air sudah mulai surut, Rohma sekeluarga baru berani turun dari atap rumah kemudian lari ke posko pengungsian di Kantor Kecamatan Sukorambi.

Setelah kejadian itu, anak bungsu Rohma ini menjadi pendiam, murung, dan mukanya selalu menunjukkan rasa takut.

Sejak berada di posko pengungsian, kalau malam tiba Alifah tidak pernah tidur dan kalau mendengar suara mobil dia langsung menangis dan berteriak, Takut... takut, ucap Rohma.

Setiap kali Alifah ketakutan dan panik, Rohma pun menggendongnya dan bilang kalau itu hanya suara mobil.

Namun, rayuan ini belumlah cukup untuk menenangkan Alifah. Dia akan terus menangis. Bukan hanya itu.

Dulu, sebelum terjadi bencana alam, Rohma menceritakan betapa Alifah kalau mandi selalu lama. Hal itu berubah drastis. Setiap kali dimandikan, baru sebentar saja anak itu langsung minta untuk berhenti.

Trauma semakin dalam

Lain lagi kisah menyangkut Alfi (6), anak dari Sri Wahyuni (32), warga Dusun Bunut, Desa Kemiri, Kecamatan Panti. Dia juga mengalami trauma akibat bencana alam itu. Bahkan, trauma itu merupakan ulangan trauma yang pernah dialaminya yang juga berkaitan soal air.

Saat Alfi berumur dua tahun, dia pernah hanyut ketika dimandikan di sungai. Akibatnya, ketika dia mengalami bencana banjir tiga hari lalu, trauma yang dideritanya semakin dalam, luka batin yang sudah hampir sembuh itu seakan terbuka lagi.

Dia selalu menangis ketakutan setiap kali mendengar suara mesin mobil menderu, atau ketika dia berada di tengah-tengah keramaian.

Sebelum bencana alam menimpa keluarganya, sebetulnya Alfi sudah hampir pulih dari traumanya akibat hanyut di sungai.

Dia sudah kembali ceria dan mulai senang bermain dengan teman-temannya. Hanya satu hal yang menjadi ketakutannya, yaitu sungai. Dia tidak mau lagi buang air besar atau mandi di sungai. Namun, setelah mengalami bencana banjir, dia kini kembali menjadi pendiam dan selalu menangis ketakutan.

Tak mau pulang

Kasus trauma yang serupa dialami oleh Wike (10) dalam bentuk yang berbeda. Anak dari Ahmadi (23), warga Desa Serut, Kecamatan Panti, ini pun sekarang menjadi pendiam, selalu ketakutan, dan ingin selalu dekat dengan ibunya.

Selasa lalu, Wike sempat mendesak agar pulang dan tidak lagi tinggal di pengungsian. Namun, begitu dibawa ke rumahnya yang hancur, dia malah menjerit-jerit histeris dan menangis ketakutan. Sekarang, Wike kapok, tidak mau lagi kembali ke rumahnya, kata Ahmadi sambil mengelus-elus kepala anak kesayangannya itu.

Ariyanto, dokter dari tim Brigade Siaga Bencana RSU Dr Soetomo, Surabaya, mengatakan, bencana alam dapat mengakibatkan sindrom karena trauma (post traumatic stress disorder) bagi mereka yang melihatnya secara langsung.

Dan yang paling rentan terkena sindrom ini adalah anak- anak, ujarnya menambahkan.

Sindrom akibat trauma ini mengakibatkan anak-anak tersebut menjadi pemurung, tertutup, dan sulit makan.

Yang paling ekstrem, jika sindrom ini tidak segera diatasi, ketika penderita menjadi dewasa nanti, mereka bisa melakukan tindakan bunuh diri.

Untuk melepaskan anak- anak dari sindrom ini perlu bantuan dari psikolog, ucap Ariyanto. Namun sayangnya, hal ini belum menjadi perhatian utama bagi tim penanganan bencana alam Jember.

Tim penanganan bencana alam Jember kini baru menangani korban cedera fisik yang membutuhkan perawatan darurat secara segera.

Belum ada psikolog yang datang untuk membantu anak- anak yang menderita trauma tersebut. Kini mereka terkungkung oleh ketakutannya dan ketidakmengertiannya.

Itulah derita yang harus mereka tanggung di hari-hari mendatang jika tidak segera mendapat penanganan. Itulah nasib mereka, anak-anak yang tak berdaya, anak-anak yang menjadi korban banjir Jember.... (D12)

Post Date : 05 Januari 2006