|
Jakarta, Kompas - Dua mitra asing, PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya dinilai gagal mengelola dan memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI harus memutuskan kerja sama antara Perusahaan Daerah Air Minum dan dua mitra asing yang telah dilakukan sejak Januari 1998 itu. Desakan pemutusan hubungan kerja sama semakin kuat karena PT Thames PAM Jaya (TPJ) dan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) mengingkari nota kesepahaman, yakni tidak mampu menyediakan air minum bisa langsung minum pada tahun 2007. "Kedua mitra asing PDAM telah gagal melayani dan menyediakan air bersih untuk warga Jakarta. Kehadiran mereka malah membuat PDAM terus merugi. Di satu sisi pengelolaan air bersih dari TPJ dan Palyja sangat merugikan warga," kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD DKI Jakarta Johny Wenas Polii, Rabu (23/3). Sebelumnya dalam rapat kerja Komisi D dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya, PT TPJ, dan PT Palyja, Selasa lalu, mencuat juga kegagalan kedua mitra asing itu dalam mengelola dan menyediakan air bersih bagi warga Jakarta. Dalam rapat itu mengemuka, sejak nota kesepahaman ditandatangani 28 Januari 1998, kedua mitra asing itu tidak menunjukkan kemajuan yang berarti, PDAM Jaya terus merugi. Dengan utang yang mencapai Rp 1,8 triliun (utang pokok Rp 740 miliar yang harus dibayarkan tahun 2021), posisi tahun 2002 dan tahun 2005 masih Rp 1,6 triliun. Anggota Komisi D, Denny Tollega, mengatakan, dari segi pelayanan saja, banyak konsumen yang mengeluh. Dari pihak mitra asing dan PDAM Jaya sendiri mengakui banyak keluhan warga, seperti air berwarna kuning dan berbau dikarenakan menurunnya air baku. Hal itu disebabkan pelayanan pasokan air bersih kepada konsumen sangat tergantung dari hujan. Kalau ada hujan, suplai air lancar. Sementara jika tidak hujan, air tidak lancar. Bisnis Polii mengatakan, dari aspek bisnis gagal. "Naif sekali masak pelayanan air bersih sangat tergantung pada alam. Buat apa ada teknologi," ujar Polii. Kedua mitra asing itu tidak melakukan transfer teknologi dengan baik, tetapi lebih cenderung konvensional sehingga tidak menguntungkan dari aspek usaha. Polii mengatakan, sejak awal kerja sama, unsur tidak menguntungkan bagi Pemprov DKI Jakarta sudah tampak. Hal itu tertuang dalam angka persentase pengembalian dari kegiatan usaha yang ditetapkan 18 persen (tahun 1998) dengan proyeksi 22 persen tahun 2020. "Seharusnya pada saat suku bunga tinggi ketika kerja sama, persentase pengembalian itu sekitar 40 sampai 50 persen. Makanya tidak heran kalau PDAM terus merugi. Padahal, sebelum dikelola mitra asing, PDAM Jaya terus untung," katanya. Karena itu ia meminta Pemprov DKI segera memutuskan kerja sama dengan kedua mitra asing dari PDAM Jaya. "Dalam kondisi yang terus merugi, kalau tidak cepat diputuskan akan berakibat pada akumulasi kerugian warga DKI," ujar Polii. (PIN) Post Date : 24 Maret 2005 |