NAMA Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu memang tidak sebesar nama TPST Bantargebang, meskipun keduanya berada di wilayah yang berdekatan.
Bahkan, sejak isu pengolahan gas metan menjadi listrik diluncurkan oleh TPST Bantargebang, nama TPA Sumur Batu tampak tenggelam. Padahal, di tempat pengolahan sampah milik Kota Bekasi ini, listrik yang dihasilkan dari pembakaran gas metan sampah telah terlebih dahulu menyala.
TPA Sumur Batu memang tidak sebesar TPST Bantargebang karena luasnya hanya sekitar 10 hektare dengan pasokan sampah hanya 350 ton per hari. Dengan begitu, tidak salah jika kapasitas listrik yang ada pun hanya 120 kilovolt ampere.
Dengan nilai investasi tidak lebih dari Rp 12 miliar, listrik yang dihasilkan oleh TPA ini pun tidak berdaya saing ketika dijual ke PLN. Hanya, saat TPST Bantargebang masih berkutat dengan masalah produksi gas metan yang tak kunjung stabil, TPA Sumur Batu malah sudah bisa menghasilkan gas metan dengan kualitas stabil.
Kepala Bidang Persampahan Dinas Kebersihan Kota Bekasi, Abi Hurairah mengatakan hal itu karena sejak tahun 2001, seluruh lahan pembuangan sampah di TPA Sumur Batu telah dilapisi dengan geomembran, sehingga gas metannya tidak bercampur dengan air licit dan produksi gas metan juga lebih relatif stabil.
Meskipun, baru bisa dimanfaatkan untuk kepentingan internal, menurut Abi, pengolahan gas metan menjadi energi listrik TPA Sumur Batu merupakan satu-satunya pengolahan TPA di Indonesia yang sudah tercatat di UNFCCC. Pengolahan sampah di TPA Sumur Batu sedikit berbeda dengan TPST Bantargebang.
Jika gas metan hasil pembusukan sampah di TPST Bantargebang dialirkan melalui sumur yang sengaja dibor dari dalam tumpukan sampah, gas metan di TPA Sumur Batu dihasilkan dari proses pembakaran gas metan. Energi panas dari pembakaran inilah yang nantinya menggerakkan generator yang ada.
Menurut Abi, TPA Sumur Batu yang sejak tahun 2008 bekerja sama dengan PT Gikoko Gokyo Indonesia ditujukan untuk mengolah gas metan dan tidak berorientasi pada bisnis industri listrik.
Diungkapkan Abi, karbon kredit yang dihasilkan dari pembakaran gas metan sampah itu dibeli oleh Belanda dengan nilai satu ton gas metan yang dibakar setara dengan 10 euro. Selama periode Juli 2008-Februari 2009, jumlah gas metan terbakar mencapai 4.000 ton.
Hasil penjualan karbon kredit itu akan dibagi tiga, yakni sebesar 83 persen untuk PT Gikoko Kogyo Indonesia selaku pelaksana teknis projek listrik, 10 persen untuk Pemerintah Kota Bekasi, sisanya diberikan kepada masyarakat di sekitar melalui program Community Development. (Kismi D.A./"PR")
Post Date : 15 Desember 2010
|