|
BANDUNG -- Meski hanya akan digunakan 1,5 bulan, tempat pembuangan akhir (TPA) tambahan Pasir Impun, tetap harus melalui kajian geologi, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan studi kelayakan tata ruang. Selain itu, persoalan ini pun harus dibahas dalam Tim Koordinasi Tata Ruang Daerah Provinsi Jabar. Pasalnya, Pasir Impun merupakan wilayah perbatasan (urban sprawl). Demikian disampaikan Ketua RW 13 Desa Cikadut, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Drs Moch Suyudi, Jumat (28/4). Menurut penelitian yang pernah dilakukan di kawasan Pasir Impun, dampak keberadaan TPA terhadap masyarakat sekitarnya adalah gangguan bau, gangguan lalat, nyamuk, dan limbah cair. Yaitu pencemaran air sumur penduduk, gangguan penyakit yaitu diare, ISPA, kulit, infeksi usus, dan TB Paru. ''Hal ini sangat merugikan kelangsungan hidup masyarakat yang berhak hidup sehat dan nyaman,'' kata Suyudi kepada Republika, Jumat (28/4). Ia menambahkan, berdasarkan UU Amdal, jarak untuk TPA seharusnya sekitar dua km dari permukiman. Sedangkan di Pasir Impun, jaraknya sangat dekat. Dikatakan Suyudi, Pasir Impun tidak layak dibangun TPA. Pasalnya, Pasir Impun adalah daerah permukiman penduduk. Ia menjelaskan, pembangunan perumahan baru seperti Bukit Padjajaran dan Taman Melati disebabkan ada kebijakan Pemkot Bandung, TPA Pasir Impun akan ditutup. Pasalnya, ada pembangunan TPA Leuwigajah. ''Menurut rekomendasi Studi Bandung Urban Development Project (BUDP) lokasi TPA sebaiknya disimpan di wilayah selatan,'' cetus dia. Hal itu, sambung Suyudi, diperkuat analisis geologi tata lingkungan bahwa kawasan TPA Pasir Impun merupakan zona perlindungan air tanah. Disamping itu, dengan ketinggian sekitar 750 meter, menurut Perda RTRW Kota Bandung No 2 Tahun 2004, kawasan ini ditetapkan sebagai green belt area. Sementara itu, penolakan warga terus berlanjut. Sekitar lima spanduk berisi penolakan terbentang di beberapa titik, yakni jalan masuk Pasir Impun, pintu masuk Bukit Padjajaran, Taman Melati, dan sepanjang jalan Pasir Impun. Dihubungi terpisah, warga RT 02 RW 13 Kelurahan Karang Pamulang, Kecamatan Cicadas, Kota Bandung, Milawati, mengatakan, kompensasi yang akan diterima RW 13 sebesar Rp 80 juta. Uang itu, akan dibagikan kepada tujuh RT masing-masing Rp 10 juta. Sementara itu, Pemprov Jabar mulai turun tangan mengatasi persoalan di Bandung Metropolitan Area (BMA). Rencana pembangunan TPA terpadu di BMA dimasukkan dalam daftar pembangunan jangka panjang Pemprov Jabar. Wakil Gubernur Jabar, Nu'man Abdul Hakim, mengatakan, meski persoalan sampah merupakan tanggung jawab pemkab/pemkot, namun tidak ada salahnya pemprov turun tangan mengatasinya. Dijelaskan dia, persoalan sampah yang terjadi di BMA, akan dimasukkan dalam daftar objek pembangunan jangka panjang Jabar. Nu'man menandaskan, persoalan sampah di BMA tidak hanya melibatkan satu kab/kota. Menurut dia, di BMA, persoalan sampah sudah melibatkan sedikitnya tiga wilayah, yakni Kab/Kota Bandung dan Kota Cimahi. Untuk itu, cetus dia, idealnya Pemprov Jabar turut mengatasinya. ''Dalam rencana pembangunan 20 tahun ke depan, kami masukan persoalan sampah. Pasalnya, masalah sampah di BMA tidak bisa dibiarkan begitu lama,'' ujar Nu'man kepada wartawan di kantor Bapeda Jabar. Ia menambahkan, masih banyak sektor lain yang dijadikan target pembangunan jangka panjang Jabar. Khusus persoalan sampah, pihaknya meminta pemerintah pusat melenturkan instrumen hukumnya. Kata Nu'man, Peraturan Presiden No 58/2005 tentang Tata Cara Kerja Sama Pemda dan Swasta, harus dievaluasi ulang. Ditambahkan Nu'man, keberadaan perpres tersebut akan menghambat kegiatan pembangunan jangka panjang Pemprov Jabar. Paling tidak, papar dia, pemprov tidak diberi keleluasaan dalam menggaet investor. Setiap investor yang akan membangun TPA, papar Nu'man, harus terlebih dahulu mengikuti tender terbuka. Padahal, sambung dia, dalam kondisi saat ini, sangat sulit mencari investor yang bersedia menanamkan modalnya di Jabar. (ren/san ) Post Date : 29 April 2006 |