|
BANDUNG, (PR).Bupati Bandung, H. Obar Sobarna, S.I.p., memandang, pembukaan TPA Nagreg harus menguntungkan semua pihak, paling tidak dari aspek bagi hasil retribusi. Akan tetapi, itu bukan satu hal yang harus diutamakan. Sekarang, yang harus diutamakan, tentang nilai kelayakan tempatnya dulu. Kalau sudah selesai itu, baru kita bicara bagi hasil, kata bupati kepada wartawan, di Soreang, Jumat (27/1). Menurut Obar, semua pihak harus mengawasi secara ketat realisasi tahap yang akan dikerjakan oleh pengembang. Jika melihat waktu persiapan yang 1,5 tahun, sistem pengelolaan sampahnya adalah sanitary landfill. Sesuai tahapan, dalam waktu satu tahun, pabriknya harus sudah terbentuk. Jika itu tidak terbukti, di tengah jalan bisa ditutup. Karena kita juga kan harus bertanggung jawab kepada masyarakat, katanya. Sementara itu, Kepala Bappeda Kab. Bandung H. R. Wahyu mengatakan, lokasi bakal TPA di Nagreg sudah tercantum dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kab. Bandung, sejak 2001. Memang itu sudah pernah dikaji secara teknis bersama Pemprov Jabar pada 2001 silam. Hasilnya, kawasan itu memang cocok untuk TPA, kata Wahyu kepada PR, pekan lalu. Perihal bentuk kompensasi terhadap keluarga Masoem sebagai pemilik lahan, Wahyu belum bisa memastikan. Bisa saja dibeli karena untuk kepentingan umum. Atau bisa juga sistem sewa, atau pihak Al Masoem yang mengelolanya, papar Wahyu. Menurut Wahyu, lahan seluas 100 hektare untuk TPA itu berada di Desa Nagreg Kec. Nagreg. Lahan tersebut milik keluarga besar Al Masoem. Lahan yang kini dimanfaatkan sebagai tambang galian C telah dimiliki klan Al Masoem sejak puluhan tahun lalu. Jalan masuk ke lahan yang berupa bukit tersebut berada sekira 20 meter sebelum lintasan rel kereta api di Nagreg. Jika dari arah Kota Bandung, jalan masuk terletak di kanan Jln. Raya Nagreg. Tanggapan warga Sementara itu, di lingkungan lokasi, sedikitnya ada 10 rumah warga. Menurut Zamroni, orang yang dipercaya keluarga Al Masoem untuk mengelola lahan itu, keseluruhan warga tersebut hanya menumpang. Selain itu, terdapat tidak kurang dari 10 bangunan beratap rumbia yang dipakai sebagai tempat pembuatan batu bata. Semuanya di bawah pengelolaan keluarga Al Masoem. Mengenai rencana lokasi tersebut dijadikan TPA, Zamroni mengiyakan. Tapi, itu baru wacana. Kompensasinya seperti apa kami belum tahu. Apa lahan ini nanti disewa atau bagaimana, kami juga belum tahu. Yang jelas, pihak keluarga akan mendukung rencana pemerintah, ungkanya. Nyonya Dedeh (50), warga yang tinggal di wilayah itu, juga mengaku sudah mengetahui lokasi tersebut akan dijadikan tempat sampah. Ibu memang pernah dengar itu. Tapi soal gimana-gimananya mah Ibu belum tahu. Da belum ada orang pemerintah yang ngobrol ke warga, ucapnya. Lokasi yang akan dijadikan tempat sampah terletak di sebuah cekungan yang dikelilingi bukit. Dari kejauhan, tampak G. Mandalawangi di balik perbukitan tersebut. Lahannya gersang dan hanya bisa ditanami saat musim hujan tiba. Tidak ditemukan adanya aliran sungai atau kali. Jarak dari desa terdekat, yaitu Ds. Lebakjero di sisi timur dan Ds. Cibeuneur di sisi barat, sekira 2 km. Dari pemantauan PR, medan menuju lokasi yang berjarak sekira 2-3 km dari gerbang masuk itu terbilang sulit. Soalnya, kondisi jalan berkelok-kelok dan menanjak dengan kemiringan sekira 30 derajat. Lebar jalan tidak lebih dari 4 meter sehingga hanya bisa dilalui satu truk. Badan jalan pun masih berupa tanah yang dipadatkan. (A-128/A-156) Post Date : 30 Januari 2006 |