TPA Mengolah Sampah, bukan Membuang

Sumber:Pikiran Rakyat - 26 Agustus 2006
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Di akhir minggu pertama Juli 2006, PD Kebersihan Bandung akhirnya mampu membersihkan sampah yang sebelumnya menggunung di seantero kota. Petaka Leuwigajah telah menjadi stimulus dari bertumpuknya sampah di kota Parijs van Java ini; korban jiwa akibat ledakan gas metan, membuat masyarakat trauma bila di sekitar daerah tempat mereka tinggal dicalonkan untuk tempat pembuangan (sampah) akhir - TPA.

Penolakan warga lokal terjadi hampir di semua tempat yang akan dijadikan TPA Kota Kembang. Fenomena ini merupakan pertanda bahwa - di masa yang akan datang- dukungan warga di lokasi calon TPA, akan sulit didapat. Zaman kini telah berubah, kalau dulu rakyat tak berani bicara, kini mereka tak puas bila hanya bisa teriak, anarki adalah hal yang patut diantisipasi. Artinya, bila tidak ada perubahan dalam sistem pengelolaan sampah, rakyat akan menentang TPA baru.

Oleh sebab itu, pemerintah harus menyiapkan manajemen persampahan yang baik, melakukan sosialisasi lebih dini kepada masyarakat, menyebarkan informasi dan menyiapkan sarana agar masyarakat bisa diuntungkan dari keberadaan sampah/TPA. Pengalaman Kota Bandung patut menjadi pengingat bagi daerah lain bahwa hal serupa bisa terjadi di wilayah mereka; dari pengalaman ini pula kita memahami pentingnya TPA dan perlunya mengubah paradigma tentang sampah dan pengelolaannya. Sebelumnya, sangat jarang di antara kita memberi apresiasi akan rumitnya mengelola sampah, kita tahu beres, sampah ada yang mengangkut dari rumah.

Satu pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman Kota Bandung adalah melalui keseriusan dan kerja sama semua (pemerintah dan masyarakat) martabat Bandung bisa diposisikan kembali di tempat terhormat dan layak mendapat pujian atas keberhasilan ini.

Kita mahfum bahwa masalah sampah terkait dengan persepsi, pendidikan, dan teknologi. Budaya nyampah masih mewarnai kehidupan masyarakat kita, perlu waktu untuk mengubahnya, pendidikan diharapkan mampu mengubah pemahaman keliru tentang sampah yang saat ini tertanam di benak masyarakat.

Dengan kata lain, karena pendidikan memakan waktu panjang, teknologi dan percontohan merupakan tumpuan untuk memecahkan masalah sampah; alternatif teknologi banyak tersedia, hendaknya dipilih yang membumi. Harus diciptakan daya tarik mengenai manfaat sampah dengan dikuatkan oleh penyediaan sarananya. Untuk pencerahan, akan dianalisis sampah di Garut dan alternatif penanganan di masa mendatang.

Kita pahami bahwa TPA didesain bisa berumur hingga 20 tahun-an, namun faktanya, usia tersebut berkurang drastis karena TPA hanya dijadikan tempat "membuang", tidak ada pengelolaan sebagaimana harusnya (saat didesain), jauh dari apa yang dinamakan sanitary landfill; sehingga tidak mengherankan bila rata-rata sisa usia TPA berkisar hanya tinggal lima tahunan. Sebagai contoh, TPA Pasir Bajing - Garut diperkirakan bertahan hanya tinggal dua tahun. Dengan demikian, tak lama lagi Garut akan menghadapi masalah ke mana sampah harus dibuang; alternatif strategi pengolahan sampah harus mulai diperkenalkan.

Dalam waktu dua tahun itulah harus bisa dibuktikan bahwa kita melakukan perbaikan dalam mengelola sampah, yang notabene akan memberi nilai tambah kepada masyarakat dan tidak membahayakan.

Saat ini Pemkab Garut melayani sampah dari tiga kecamatan (Garut Kota, Tarogong Kaler, Tarogong Kidul) yang berpenduduk sekitar 300.000 orang dengan total volume sampah 200 m3 per hari. Luas TPA Pasir Bajing yaitu 8,4 hektare, efektif hanya 70% atau setara 6 hektare yang bisa dijadikan lahan pembuangan karena sisanya (30%) digunakan untuk fasilitas penunjang seperti jalan, drainase, kolam lindi, dll.

Dari luasan yang tersedia, saat ini telah terpakai 3 hektare, sisanya tinggal 3 hektare lagi. Bila sampah ditumpuk dengan kedalaman (ketebalan) 5 meter, volume yang masih bisa ditampung adalah 150.000 m3 atau setara 2 tahun saja (kita abaikan kenaikan volume sampah akibat pertambahan penduduk). Bila diasumsikan 65% dari total sampah yang masuk ke TPA adalah sampah basah, terdapat 130 m3 sampah per hari yang berpotensi untuk dijadikan kompos.

Artinya, pemerintah harus membidik peluang ini, yaitu dengan memotivasi masyarakat agar melakukan pemanfaatan sampah (pengomposan), idealnya gagasan tersebut bisa diimplementasikan mulai dari skala individual, komunal, hingga regional. Teknologi pengomposan sangatlah sederhana dan harus dijadikan andalan; alatnya relatif mudah dibuat dan murah.

Dari uji skala kecil diketahui bahwa untuk memproses satu kilogram sampah menjadi kompos, diperlukan biaya sbb: bahan baku Rp 125,00 bahan penunjang Rp 75,00 pengolahan Rp 100,00 maka total biaya adalah Rp 315. Dari satu kg sampah akan dihasilkan 0,3 kg kompos, sehingga biaya produksi pemrosesan per kilogram kompos adalah 3 X Rp 315 = Rp 1.050,00 ditambah biaya pengepakan sebesar Rp 115 per kg, sehingga keseluruhan biayanya menjadi Rp 1.165,00 per kg (catatan: harga jual umum / APBD adalah Rp 1.200,00 per kg).

Tinggal dihitung berapa rupiah bisa dihasilkan dari sampah yang asalnya tak memberi nilai; suatu angka menakjubkan yang mungkin tak terbayang oleh kita. Jadi, terlihat jelas bahwa sangat terbuka peluang untuk menekan jumlah sampah yang masuk ke TPA, hal ini perlu segera dilakukan karena penanganan sampah tidak bisa dengan cara konvensional lagi, perlu inovasi, perlu kecermatan, dan perlu kesungguhan.

Untuk jangka pendek dan sebagai langkah awal, pengolahan sampah (pengomposan) sebaiknya dikonsentrasikan ke pasar, dari sinilah terkonsentrasi sejumlah sampah-basah setiap harinya. Pasar di Garut memberi andil sebesar 40 - 50% dari total sampah; untuk itu, perlu disediakan mesin pencacah-sampah sebagai kelengkapan pasar, dengan cara ini proses pemilahan akan terjadi dengan sendirinya, sampah kering yang terpilah akan "diminati" pemulung. Selanjutnya, sampah yang sudah dicacah tersebut dikirim ke TPA untuk bahan kompos. Perlu dilakukan penataan lokasi di TPA dan pengadaan fasilitas pengomposan sehingga TPA nantinya tersusun oleh "kaveling-kaveling sampah" berdasar waktu pengomposan.

Bila 90% dari sampah pasar adalah sampah basah, dan kita ambil angka konvensional untuk waktu pengomposan yaitu dua bulan, serta asumsi tebal pengomposan setinggi 1,5 meter, akan dibutuhkan lahan sekitar 3.600 m2. Artinya, "kaveling no 1" akan kembali ke titik nol pada hari ke-60, dan begitu seterusnya untuk "kaveling-kaveling" berikutnya, TPA pun akan bersih karena komposnya dimanfaatkan untuk pupuk, dengan cara ini maka usia TPA dapat diperpanjang. Pendekatan di atas bisa dijadikan sebagai media untuk ajang percontohan dan pembelajaran masyarakat sehingga mereka memahami bahwa TPA itu bisa bersahabat. Selanjutnya pengelolaan hendaknya dikembangkan ke skala yang lebih besar dengan mencakup sampah non-pasar, dilakukan dengan melibatkan/berbasis masyarakat, dari indiviual sampai tingkat komunal. (catatan: bila TPA dikelola dengan benar, maka diperlukan biaya Rp 5000,00 per m3 untuk operasional backhoe-loader, dll; sehingga tidak mengherankan bila pengelolaan sampah di TPA saat ini jauh dari konsep sanitary landfill).

Cuplikan di atas diharapkan membuka gambaran bahwa permasalahan sampah sebenarnya bisa dituntaskan dengan arif, sederhana dan akrab lingkungan, relatif tidak menimbulkan dampak negatif penting; yang diperlukan adalah political will, untuk kemudian diaktualisasikan dalam bentuk penyediaan fasilitas dan infrastrukturnya (mulai sosialisasi hingga ke penyediaan fasilitas penampungan sementara sampah berbahaya seperti accu bekas untuk di-recycling, dll) agar masyarakat dimudahkan untuk berpartisipasi aktif menyukseskan program ini. Sudah tiba saatnya kita mengubah paradigma mengenai TPA, dari tempat pembuangan akhir menjadi tempat pengolahan (sampah) akhir; pasti diperlukan kapital untuk mewujudkan gagasan ini, namun kita bisa menghitung "uang" yang dihasilkan dari program ini, bahkan kita bisa masukkan kajian besaran energi yang berhasil diselamatkan (menjadi unsur hara termanfaatkan), biaya pencemaran bila sampah dibakar, dan social cost; selanjutnya tinggal dihitung kapan break even point akan dicapai.Oleh Ir. H. WIDYANA, C.S. Penulis, Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Garut.

Post Date : 26 Agustus 2006