|
BANDUNG -- Warga korban longsor TPA Leuwigajah tagih uang kontrakan rumah. Tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah harus ditata sebelum diaktifkan kembali. Kalaupun TPA ini tidak akan diaktifkan kembali, penataannya tetap harus dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana longsor susulan. ''Sebelum penataan itu dilakukan, persoalan sosial, seperti relokasi harus diselesaikan terlebih dahulu,'' kata Kepala Kelompok Keahlian Pengelolaan Buangan Padat dan B3 Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Ir Enri Damanhuri, kepada Republika, Senin (28/3). Menurut Enri, persoalan utama dalam pengelolaan sampah di TPA Leuwigajah adalah kurangnya persiapan lahan. Akibatnya, kata dia, infrastruktur berupa pipanisasi, tempat pengolahan, serta kolam penetralisir air sampah (lindi) belum dibangun. Dengan adanya penataan ini, lanjut Enri, pemerintah daerah mau mendanai berbagai kebutuhan tadi, seperti pembangunan pipa untuk biogas, pipa untuk air sampah, kolam lindi, dan tanggul pengaman. Dikatakan Enri, pihaknya telah memiliki konsep penataan yang telah diajukan kepada Pemprov Jabar. Dituturkan dia, TPA Leuwigajah yang memiliki luas lahan 23 hektare perlu dibagi menjadi tiga wilayah. Wilayah pertama, seluas 20 hektare digunakan sebagai TPA. Sisanya, kata dia, wilayah kedua, digunakan sebagai tempat daur ulang, dan wilayah ketiga dapat digunakan sebagai jalur hijau. ''Bahkan, wilayah ketiga ini bisa digunakan sebagai tempat rekreasi,'' ujar dia. Jika pengelolaan sampah dilakukan dengan sistem sanitary landfill, Enri menjamin tidak akan ada bau sampah di TPA. Pasalnya, cetus dia, sampah di permukaan telah ditutup oleh urugan tanah. Sedangkan air sampah, sebagai penyebab utama sampah menjadi bau, telah dialirkan melalui pipa. Selain itu, kata Enri, pemerintah tetap harus melakukan penataan meski tidak akan mengaktifkan kembali TPA Leuwigajah. ''Sampah di sana masih tetap menggunung, masyarakat di Kampung Pojok khawatir jika dibiarkan akan terjadi longsor baru,'' ujarnya. Sementara itu, sistem pemisahan sampah organik dan anorganik baru bisa dilakukan setelah adanya teknologi pengolahan sampah yang maju. Penyebabnya, perlu ada sosialisasi menyeluruh kepada warga untuk melakukan hal tersebut. Sedangkan untuk sekarang, sampah yang ada harus segera diangkut. Hal itu dikatakan Wali Kota Bandung, Dada Rosada, dalam rilis yang diterima Republika, Senin (28/3). Ia menambahkan, setelah digunakannya teknologi maju, produsen ataupun penghasil sampah diminta untuk mengurangi produksi sampah. Dada mengungkapkan, cara untuk mengurangi sampah di antaranya dengan mengurangi bungkus-bungkus plastik dan menggantinya dengan kantong kertas. ''Kalau dari kertas kan, sampahnya gampang dimusnahkan atau didaur ulang,'' katanya menjelaskan. Sekretaris Komisi C DPRD Kota Bandung, Muchsin Al Fikri, menyetujui pemisahan sampah organik dan anorganik. Bahkan, menjelang pemberlakuan Perda K3, pengadaan tong sampah yang memisahkan sampah organik dan anorganik harus tersedia. Konsep kerja sama antara lima kota/kabupaten di Cekungan Bandung untuk mengelola sampah dengan konsep Greater Bandung Waste Management Coorperation (GBWMC), disayangkan oleh anggota dewan. Pasalnya, konsep GBWMC itu tidak mengintegrasikan penyelesaian longsornya TPA Leuwigajah. Menurut anggota DPRD Jabar dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Syaiful Huda, seharusnya penyelesaian masalah longsor Leuwigajah konsepnya harus diintegrasikan dengan GBWMC. ''Leuwigajah merupakan tragedi yang terjadi di Jabar, semua pihak harusnya malu karena tragedi itu terjadi akibat kelalaian,'' tuturnya. Sementara tu, hingga kini sekitar 139 kepala keluarga (KK) korban longsor sampah di Kecamatan Batujajar, belum mendapat uang kontrakan. Pemkab dan DPRD Kabupaten Bandung diminta mendesak Pemprov Jabar menutupi kekurangan dana penanganan korban longsor di Batujajar. Berdasarkan pantauan Republika, Senin (28/3) siang, baru 76 KK yang sudah diberi jatah uang kontrak rumah dari Pemkab Bandung. Masing-masing KK, diberi jatah sebesar Rp 1 juta. ( ren/san/rfa/kie ) Post Date : 29 Maret 2005 |