|
SEMARANG - Pemkot harus memperbaiki tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Jatibarang, Kecamatan Mijen. Pengelolaan sampah TPA itu selama ini masih menggunakan sistem open dumping (ditumpuk), belum sepenuhnya dengan sanitary landfill (ditimbun). Akibatnya, terjadi berbagai dampak lingkungan termasuk pencemaran akibat merkuri. Pendapat itu disampaikan Ketua Program Magister Ilmu Lingkungan Undip Profesor Sudharto P Hadi MES PhD, Kamis (22/9). Menurut keterangannya, upaya yang bisa dilakukan Pemkot adalah perbaikan TPA dan bukan memindahkannya. Perbaikan dapat dilaksanakan dengan sanitary landfill. Lahan TPA harus diupayakan agar tidak menyerap cairan yang keluar dari tumpukan sampah. Caranya antara lain dengan membangun landasan beton yang di bawahnya dilapisi bahan semacam membran geotextile. Membran kedap air itu akan menahan limbah sehingga tidak meresap ke dalam tanah tetapi mengalir ke saluran-saluran menuju ke instalasi pengolahan limbah. ''Cairan yang keluar dari instalasi pengolahan limbah itu tidak boleh menimbulkan pencemaran. Sistem sanitary landfill memang agak mahal tetapi harus dilakukan,'' kata dia. Soal indikasi kandungan merkuri pada limbah TPA bisa jadi berasal dari bahan berbahaya dan beracun (B3). Sudharto mencontohkan bekas batu baterai yang dibuang begitu saja oleh warga. Mestinya, pembuangan bahan-bahan seperti itu sejak awal sudah dipisahkan dengan bahan-bahan lain. Pemisahan juga harus dilakukan pada saat pengangkutan dan penampungan. Upaya pengelolaan sampah seperti itu, ujar dia, memang harus melibatkan warga. Belum Optimal Pengamatan Suara Merdeka di TPA Jatibarang, lindi (cairan alkali) yang berasal dari pelapukan sampah dialirkan ke kolam penampungan. Menurut keterangan petugas Dinas Kebersihan di TPA Jatibarang Siswanto, kolam besar di tenggara cekungan TPA itu mampu menampung 1.500 m3 air limbah. Air berwarna hitam pekat itu kemudian dialirkan ke enam kolam kecil berkapasitas 700 m3. Dua kincir angin kecil tampak berdiri di dalam kolam kecil. Siswanto menyebutkan, kincir itu berfungsi untuk meningkatkan oksigen untuk aerasi kolam. Tetapi, kincir angin itu tak bergerak sedikit pun. Tak ada pula penambahan bahan kimia pereduksi polutan. ''Sejak lima tahun lalu, tidak pernah tersedia bahan kimia pereduksi polutan. Idealnya, cairan limbah dari kolam besar diberi bahan kimia dulu agar polutan berkurang,'' ungkapnya. Dari kolam kecil, air yang masih berwarna hitam itu mengalir ke Kali Kreo yang hanya berjarak 20 meter dari kolam limbah TPA. Lebih lanjut Siswanto mengatakan, tak semua air limbah mengalir ke Kali Kreo. Menurut pengamatannya, sebagian besar justru menguap karena terik sinar matahari. (H5,G6,Fzm-60j) Post Date : 23 September 2005 |