|
PERKEMBANGAN pembangunan yang pesat di kota Purwokerto belum diimbangi kewaspadaan serius terhadap dampak lingkungan hidup. Hal itu biasa hadir sebagai risiko suatu kota yang bergerak menjadi kota besar. Contoh yang bisa kita rasakan adalah air yang menggenang cukup tinggi (banjir) di sepanjang Jalan Soedirman di dekat Pasar Wage bila turun hujan, walau sebentar. Tiga tahun lalu hal itu belum terasa mengganggu. Air menggenang akibat banyak got tersumbat di sepanjang jalan protokol itu. Atau, disebabkan oleh cara pembuatan saluran air yang semau gue, tanpa peraturan. Selain itu, cukup memprihatinkan pula bahwa lahan resapan air telah berkurang. Sementara itu, sampah yang diproduksi warga Purwokerto dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gunung Tugel. Itulah TPA terbesar milik pemerintah. Hingga saat ini belum pernah terdengar pemerintah berencana memindahkan TPA itu, meski masa berlakunya habis setahun lalu. Keprihatinan yang muncul saat ini banyak dilontarkan warga yang mendiami wilayah sekitar TPA. Bau menyengat muncul pada siang hari atau saat sampah diratakan. Bau itu bisa menyebar dalam radius lumayan luas. Apalagi ada limbah tinja yang dibuang mobil pengangkut tinja di lokasi itu. Sampah memang sering membuat masalah, mulai dari yang masih berada di lingkungan permukiman hingga pembuangan akhir. Pemerintah memilih lokasi TPA umumnya dengan perhitungan cermat. Yang paling utama, wilayah itu jauh dari permukiman dan diperkirakan bisa dipergunakan antara 10 tahun dan 25 tahun. Upaya memprediksi suatu wilayah cepat ditempati penduduk atau tidak tidak mudah. Paling tidak, sebagaimana terjadi di sekitar TPA Gunung Tugel, siapa mengira pembangunan perumahan secepat ini mengarah ke selatan kota Purwokerto? Terlepas dari hal itu, umumnya penataan tata ruang kota Purwokerto harus diterapkan dengan saksama. Bahkan perlu ditinjau ulang agar menjadi kota yang tetap nyaman dan sejuk sebagai tempat tinggal. Warga di sekitar TPA Gunung Tugel telah beberapa kali mengirim surat atau keluhan baik ke pemerintah maupun pihak terkait lain. Namun hingga saat ini belum ada tanggapan serius. Padahal, bila mengacu ke UU tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup atau undang-undang dan ketentuan lain yang mengatur lingkungan hidup, semestinya peran aktif masyarakat itu harus diperhatikan. Sebab, mereka telah menyadari dampak yang timbul bisa membahayakan kesehatan. Peran serta masyarakat untuk mencegah polusi udara yang meluas sangat penting, karena membantu penegakan hukum lingkungan. Pendapat anggota DPRD Banyumas bahwa pemulung berperanan besar dalam proses daur ulang sampah organik bisa disetujui. Kita ingat, pada masa pemerintahan Soeharto, para pemulung mendapat julukan cukup hebat, yakni laskar mandiri. Laskar itu dengan gigih mengumpulkan sampah anorganik. Dengan demikian, sampah organik bisa lebih mudah dijadikan kompos. Tinggal keseriusan pemerintah untuk mencari investor atau bekerja sama dengan masyarakat sekitar TPA dalam mengelola sampah organik menjadi pupuk atau hal lain yang berdaya guna. Karena itu solusi yang cepat dan tepat serta jalinan komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar TPA mutlak perlu. Jadi suasana harmonis tetap terjaga karena mereka juga memiliki hak untuk hidup secara sehat, bersih, dan jauh dari polusi. Hibnu Nugroho SH. MH, dosen Pascasarjana Lingkungan Unsoed Purwokerto Post Date : 22 Desember 2005 |