|
SETELAH kesulitan membuang sampah di Bantar Gebang, Bekasi, secara mengejutkan Kecamatan Rengasdengklok, 20 kilometer arah utara Karawang, Jawa Barat, kini direncanakan sebagai tempat pembuangan akhir sampah penduduk ibu kota Jakarta. Sebagian lahan yang dibutuhkan sudah dibebaskan. Bahkan, jalan masuk ke lokasi juga sudah ditingkatkan. RENGASDENGKLOK hanya sebuah kota kecil yang diingat setahun sekali. Biasanya, sehari sebelum proklamasi kemerdekaan RI selalu dimeriahkan dengan berbagai kegiatan untuk memperingati peranan kota tersebut pada saat menjelang dikumandangkannya Proklamasi 17 Agustus 1945. Sehari sebelumnya, tanggal 16 Agustus, Bung Karno dan Bung Hatta "dibawa" ke kota kecil tersebut oleh kelompok pemuda. Di Rengasdengklok sendiri, pada tanggal 16 Agustus 1945 itu, Asisten Wedana Soejono Hadipranoto memimpin upacara penaikan Sang Saka Merah Putih di halaman kantor kawedanan. Untuk mengabadikan peristiwa itu, sekarang di lokasi tersebut berdiri tugu berbentuk tiang bendera, tetapi tampak tidak terawat karena kesulitan biaya. Nasibnya persis sama dengan rumah petani Djiauw Kie Siong, tempat Bung Karno disertai Ibu Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra serta Bung Hatta menghabiskan waktunya. Tahun 1990-an pernah muncul gagasan untuk membangun monumen di atas lahan seluas enam hektar dengan biaya Rp 2 miliar. Akan tetapi, hingga kini hanya pilar-pilar beton yang menjadi saksi bisu. YANG disebut pusat kota Rengasdengklok sebelumnya merupakan wilayah Desa Rengasdengklok. Namun, karena perkembangan jumlah penduduknya pesat, Desa Rengasdengklok kemudian mengalami pemekaran menjadi Desa Rengasdengklok Utara dan Rengasdengklok Selatan. Secara geografis, wilayah fisik kedua desa itu memiliki faktor pembatas. Di sebelah timur dibatasi Saluran Induk Tarum Tengah yang berfungsi mengairi areal pertanian sawah. Sistem irigasi di daerah ini sudah dikenal sejak tahun 1925. Di bagian barat mengalir Sungai Citarum yang sekaligus menjadi batas Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Bekasi. Dalam hal peran ekonomi, pusat kota Rengasdengklok sekaligus merupakan pusat kegiatan ekonomi terbesar di Kabupaten Karawang. Pasar Rengasdengklok memegang peranan sangat penting bagi daerah-daerah yang berada di bawahnya, seperti Kecamatan Rawamerta, Kutawaluya, Jayakerta, Pedes, Cibuaya, Batujaya, Pakis, dan lainnya. Pantas jika pusat kotanya kemudian berkembang menjadi pusat pasar eceran. Namun, karena sebagian besar pedagang tersebut merupakan pedagang kecil, mereka merampas sebagian badan jalan sehingga menciptakan pasar tumpah. Keadaannya bertambah semrawut karena becak, ojek motor, angkutan umum, dan kendaraan lainnya berseliweran tanpa mengindahkan aturan berlalu lintas. Pemerintah kecamatan sejak lama mengalami kesulitan menertibkannya. Karena itu, dalam Semiloka Peristiwa Rengasdengklok menjelang akhir tahun 2003 lalu, Bupati Achmad Dadang mengemukakan, Rengasdengklok merupakan daerah paling kumuh di Asia Tenggara. Karena topografi wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 5-8 meter di atas permukaan laut, kata ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung, Engkon K Kertapati, pada musim hujan beberapa bagian wilayah pusat kotanya menjadi langganan banjir akibat saluran-saluran pembuang tidak berfungsi sepenuhnya. Sampah hasil kegiatan pasar yang tidak terangkut menyebarkan aroma bau tak sedap ke mana-mana. SULIT dibayangkan bagaimana sebuah perusahaan swasta bisa mengantongi izin untuk membangun tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dari DKI Jakarta di sebuah tempat seperti Rengasdengklok. Lokasinya direncanakan di Kampung Cikelor, sekitar dua kilometer jaraknya dari situs sejarah Tugu Kebulatan Tekad. Karena letaknya di Kampung Cikelor, TPA itu kelak akan dinamakan TPA Cikelor. Rencana yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat setempat bukanlah hanya karena jaraknya yang sangat berdekatan dengan situs sejarah milik masyarakat setempat, tetapi pembangunan TPA di lokasi tersebut membutuhkan kajian mendalam. Kampung Cikelor merupakan kampung tradisional di Desa Rengasdengklok Selatan. Sebagian besar penduduknya memanfaatkan lahan hasil endapan Sungai Citarum Purba atau bekas aliran sungai tersebut untuk pertanian, kebun, persawahan, dan bahkan kebutuhan air minum yang bersumber dari sumur gali pada kantong-kantong pasir bawah permukaan aliran Sungai Citarum Purba. Di daerah-daerah tersebut, tanaman tampak hijau subur. Karena itu, tata guna lahan di daerah tersebut merupakan tata guna lahan yang "harus dipertahankan" mengingat salah satu fungsinya yang sangat penting, yakni memiliki potensi kandungan air tanah tinggi. Dan yang lebih penting lagi, selama ini kehidupan masyarakat Kampung Cikelor khususnya dan masyarakat Rengasdengklok pada umumnya hidup tenteram dan damai. Tidak ada gejolak sosial. BAHWA sampah bisa didaur ulang atau dijadikan kompos sudah lama diketahui. Sampah juga bisa menjadi sumber ekonomi jika dikelola dengan baik. Tetapi pengalaman membuktikan, dampak negatifnya lebih menonjol, baik akibat pencemaran udara, pencemaran air tanah, maupun pengaruh kesehatan yang akan dialami masyarakat. Setelah TPA berfungsi, tata guna lahan dengan sendirinya akan berubah. Daerah yang semula merupakan dataran, setahap demi setahap akan ditutup sampah padat rumah tangga, sampah organik, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan sampah dari rumah sakit yang berasal dari DKI Jakarta. Cepat atau lambat, kehidupan setempat akan berubah. Para pemulung yang berasal dari luar daerah akan berdatangan dan kemudian membangun gubuk-gubuk liar di sekitarnya. Praktis, kehidupan setempat akan berubah karena terganggu keseimbangannya. Sayangnya, perubahan yang terjadi bukanlah perubahan positif. Dalam jangka panjang, penduduk yang memanfaatkan lahan untuk pertanian, kebun, persawahan, dan kebutuhan air minum dari sumur gali akan terganggu karena sumber air terkontaminasi cairan limbah padat/cair yang berasal dari timbunan sampah. Karena TPA tersebut berdekatan dengan Sungai Citarum, cepat atau lambat air sungai akan terkontaminasi resapan bawah permukaan limbah TPA. Dampak yang akan terjadi, biota air Sungai Citarum akan terganggu. Karena air sungai tersebut mengalir ke muara lalu masuk perairan Laut Jawa di Ujung Karawang, maka dampaknya akan lebih besar sebab akan mempengaruhi kehidupan nelayan di perairan tersebut. Mengingat dampak negatif sebuah TPA tidaklah sesederhana yang dibayangkan, sebelum terlambat sebaiknya pembangunan TPA di Kampung Cikelor haruslah dikaji secara matang. Masyarakat jangan hanya "diiming-iming" dampak positif berupa keuntungan ekonomi sampah yang belum tentu sebanding dengan risiko ekonomi jangka panjang yang harus mereka pikul. Apalagi dalam Pola Induk Pengembangan Wilayah Provinsi Jawa Barat dalam Jangka Panjang (25-30 tahun), Rengasdengklok direncanakan menjadi ibu kota Kabupaten Rengasdengklok. Sebuah kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Karawang menjadi Kabupaten Karawang I dan Kabupaten Karawang. Her Suganda Wartawan, Tinggal di Bandung Post Date : 02 Juni 2004 |