|
BEKASI - Meski perjanjian kerja sama pengelolaan TPA Bantargebang, antara Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah ditandatangani pada 16 Juli 2004, namun hingga kini belum terlihat adanya tindakan nyata pengelolaan seperti yang dijanjikan. "Air limbah dari gunungan sampah TPA meluap ke saluran sampai ke permukiman warga. TPA belum juga dikelola, hingga warga dipaksa menikmati pencemaran," kata Sumartono, warga Sumur Batu, Bantargebang, Kota Bekasi, Selasa (7/9). Baik Pemkot Bekasi maupun DKI Jakarta saling melempar tanggung jawab. Kedua pihak berlindung di balik PT Patriot Bekasi Bangkit (PBB), perusahaan swasta yang telah ditunjuk sebagai pengelola sampah di TPA Bantargebang. Disepakati bahwa DKI akan membayar retribusi Rp 52.500 per ton sampah yang dibuangnya di TPA Bantargebang. Sebanyak 20 persen dari setoran DKI itu atau sekitar Rp 10.500 akan menjadi bagian Pemkot Bekasi. Dari bagian itulah Pemkot Bekasi akan meneruskan kebijakan memberi uang kompensasi pada warga di sekitar TPA Bantargebang. Menurut Kepala Dinas Kebersihan Kota Bekasi Dedi Djuanda, PBB baru mulai beroperasi setelah dilakukannya penandatanganan perjanjian kerja sama teknis, dengan DKI. "Masalahnya Pemkot Bekasi tidak dilibatkan dalam perjanjian kerja sama teknis itu," katanya. Wali Kota Bekasi Achmad Zurfaih mengatakan, tak ada yang bisa dikerjakan Pemkot Bekasi selain menunggu dicapainya kesepakatan untuk penandatangan kerja sama teknis antara PBB dan DKI Jakarta. Padahal mengacu pada perjanjian kerja sama 16 Juli lalu, hanya diberi waktu 16 hari untuk menyusun kesepakatan kerja sama teknis itu. "Harusnya memang sudah mulai beroperasi. Tapi tampaknya masih ada masalah dalam proses pembicaraan antara PBB dan DKI. Masih belum ada kesepakatan di antara kedua pihak, terutama mengenai pengalihan aset, serta kontrak kerja dengan perusahaan sub-kontrak DKI," kata Zurfaih. Diakui Zurfaih, beroperasinya PBB hanyalah merupakan pengalihan manajemen dari sebelumnya DKI, kini berganti menjadi PBB yang berbentuk perusahaan swasta. Diharapkan perubahan itu dapat merubah pola pengelolaan sampah selama ini yang dinilai tidak profesional. "Ada beberapa masalah terkait kontrak kerja, seperti perjanjian kontrak perusahaan subkontraktor dengan pengelola terdahulu, yaitu DKI. Belum beres pembicaraan mengenai hal itu," ujarnya. Tingginya nilai kontrak kerja para subkontraktor DKI itu, dikatakan Zurfaih, menjadi salah satu kendala yang dikeluhkan PBB dalam menentukan kesepakatan kerja sama. (B-14) Post Date : 08 September 2004 |