|
Jakarta, Kompas - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mempersiapkan secara matang rencana kenaikan tarif penggunaan air tanah untuk kalangan industri dan rumah mewah. Sebelum diberlakukan, air bersih dari Perusahaan Air Minum Jaya harus tersedia dalam kapasitas besar. Demikian dikatakan Ketua Komisi B, yang membidangi perekonomian, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Aliman Aat dan Direktur Eksekutif Kajian Seputar Warga Jakarta (Kasta) Chaeruddin secara terpisah, Senin (2/3) di Jakarta Pusat. Keduanya menanggapi rencana Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang dalam waktu dekat akan menyampaikan draf tarif penggunaan air tanah kepada DPRD DKI Jakarta. Kenaikan tarif itu untuk membatasi penggunaan air tanah secara besar-besaran dari kedua kelompok tersebut yang telah mengakibatkan Jakarta terancam krisis air dan terjadi penurunan permukaan air tanah dari tahun ke tahun. Dalam draf itu, BPLHD DKI Jakarta mengusulkan, batas tarif air tanah Rp 8.800 per meter kubik dan tarif tertinggi untuk industri mencapai Rp 23.000 per meter kubik. Besaran tarif itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, Peraturan Gubernur Nomor 4554 Tahun 1999, yang menetapkan batas terendah tarif air tanah Rp 525 per meter kubik untuk rumah tangga mewah dan batas tertinggi Rp 3.300 per meter kubik untuk industri. Aliman dan Chaeruddin mengatakan setuju jika kenaikan tarif air tanah segera dilaksanakan sehingga pelaku industri dan pemilik rumah mewah tidak lagi mengambil air tanah dalam kapasitas besar. ”Tetapi apakah Pemprov DKI sudah siap? Apakah air bersih dari PAM sebagai pengganti air tanah sudah tersedia dalam jumlah yang besar? Selama ini saja air bersih untuk masyarakat umum tidak bisa tercukupi,” kata Aliman yang meragukan PAM Jaya akan mampu mencukupi kebutuhan air bersih untuk industri dan rumah mewah. Chaeruddin sependapat dengan Aliman. ”Air bersih untuk masyarakat umum saja tidak terpenuhi, apalagi mau memasok air bagi industri dan rumah mewah. Bisa-bisa air untuk warga malah dialihkan bagi kepentingan industri dan rumah mewah,” ujar Chaeruddin. Kepala Humas PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) Meyritha Maryanie mengatakan, pihaknya sudah siap memasok air bersih dalam kapasitas besar. ”Kami sudah sering bekerja sama dengan BPLHD untuk memasok air bersih bagi sebagian perkantoran dan hotel,” ungkap Meyritha yang mencontohkan booster pump di Mega Kuningan yang memasok air bersih ke sejumlah hotel dan perkantoran di kawasan tersebut. Lokasi booster pump lainnya, kata dia, terdapat di Jakarta Selatan, seperti di booster pump S3 di kawasan Blok M dan S9 di Pondok Indah. Selain itu, tersedia booster pump di sekitar kawasan Puri Indah, Jakarta Barat. Hasil penelitian Rencana menaikkan tarif penggunaan air tanah mengacu dari hasil penelitian BPLHD bahwa di Jakarta terjadi penurunan permukaan air tanah dari tahun ke tahun. Beberapa tahun ke depan, Jakarta diperkirakan bakal mengalami krisis air tanah. Data BPLHD DKI menyebutkan, saat ini 53 persen konsumen air di Jakarta menggunakan air tanah, sedangkan 47 persen menggunakan air PAM. Dari 53 persen itu, sebagian besar konsumen rumah tangga, selebihnya perkantoran, apartemen, mal, hingga industri. Beberapa kawasan di Jakarta masuk zona kritis kekeringan air tanah, seperti Pulo Gadung, Matraman, Tebet, Duren Sawit, Pasar Minggu, Ciracas, dan Pasar Rebo. Sedangkan zona sangat rawan terhadap krisis air berada di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan sebagian Jakarta Timur. (PIN)
Post Date : 03 Maret 2009 |