Tiga Jam Sehari untuk Menimba Air

Sumber:Suara Merdeka - 21 Juli 2008
Kategori:Air Minum

SEBAGIAN besar wilayah Pati Selatan, tiap tahun, akrab dengan bencana kekeringan. Jika ditilik dari sumber airnya, daerah seperti Kecamatan Pucakwangi, Winong, Tambakromo, Jakenan, Jaken, dan Batangan tidak memiliki persediaan air berlebih.

Hampir sebagian warga di kawasan itu mengandalkan guyuran air hujan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-harinya. Bagaimana saat musim kemarau tiba?
Beberapa warga menjelaskan, ketika musim hujan berlalu, mereka bergantung pada air embung yang ada di tiap-tiap desa.

Biasanya di tepi embung dilengkapi dua sumur resapan yang biasa dimanfaatkan warga yang kesulitan mendapatkan air bersih.
Memasuki awal bulan Juli ini, sumur di beberapa desa di kawasan Pati Selatan sudah menyusut kandungan airnya. Namun, sebagian besar sumur yang berada di dekat embung atau sungai masih terdapat stok air bersih.

Saat ini, yang sudah merasakan dampak kekeringan adalah warga Dukuh Plukisan, Desa Karangrejo, Kecamatan Pucakwangi. Justru ratusan keluarga yang bermukim di sana tidak lagi bisa memanfaatkan beberapa sumur yang selama ini sumber airnya tawar.

Terasa Asin

Tidak banyak sumur gali pasak yang dimiliki warga setempat rasa airnya tawar. Bahkan banyak sumur warga yang hanya difungsikan sebagai tandon air saat musim hujan lantaran saat kemarau airnya terasa asin.

Muksin (37), seorang warga setempat mengutarakan, dirinya bersama ratusan warga lain harus mengangsu ke embung di desa itu. Pasalnya, pasokan air bersih di sejumlah sumur sudah tidak ada lagi.

Meski embung berada tidak jauh dari permukiman, namun warga tetap saja repot mengangsu. Setiap harinya mereka harus menyediakan waktu sekitar 2-3 jam untuk mencari air bersih.

“Kalau panas gini saya tidak bisa lagi ke sawah karena tidak bisa tanam. Jadi ya kalau pagi mulai jam 05.00 antre ambil air untuk minum sapi dan untuk kebutuhan keluarga.”
Antrean cukup padat terlihat pada pagi buta dan sore menjelang malam. Biasanya masing-masing keluarga membawa air dari embung tiga jerigen berukuran 30 liter dengan diangkut menggunakan sepeda.

Karena terus diambil, debit air di embung semakin menyusut, sehingga tak ada pilihan untuk tetap memanfaatkan air yang semakin keruh.

“Daripada membeli air Rp 130 ribu/tangki, lebih baik kita ambil air seadanya, yang penting masih bisa untuk kebutuhan hidup. Kami juga tidak punya uang jika harus membeli air,” tandasnya.

Kadus Dukuh Plukisan, Desa Karangrejo, Kecamatan Pucakwangi, Mukti memperkirakan, jumlah air di embung akan habis dalam satu hingga dua bulan ke depan. Pemerintah desa setempat akan segera melebarkan dan memperdalamnya jika air sudah habis bisa menampung air hujan lebih banyak lagi.(M Noor Efendi-77)



Post Date : 21 Juli 2008