|
MATARAM (Media): Sejumlah pihak di Nusa Tenggara Barat (NTB) khawatir dengan tingginya tingkat penurunan debit air yang terjadi setiap tahun di Pulau Lombok dan Sumbawa. Penurunan debit air itu disebabkan kondisi hutan yang semakin parah. Kekhawatiran itu disampaikan Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) Jalal kepada wartawan, Senin (24/5), di Mataram. Menurut Jalal, berdasarkan hasil pengamatannya di Bendungan Jurang Sate di Lombok Tengah, setiap tahunnya terjadi penurunan debit air. Debit air di Jurang Sate yang selama ini mampu mengairi lahan pertanian seluas lebih kurang 20 ribu hektare pada kondisi normal mencapai 4-6 meter kubik per detik. Tetapi begitu masuk musim kering, seperti pada 2003 debit airnya berkurang menjadi 2-3 meter kubik per detik. "Kondisi yang sama juga terjadi di Sumbawa dan Bima. Inilah yang kita khawatirkan jika hutan sebagai sumber mata air daya tampungnya terus berkurang akibat perusakan hutan" katanya. Sementara itu, di tempat terpisah, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB Ahmad Junaidi mengatakan, salah satu upaya yang ditempuh Walhi NTB untuk menyelamatkan lingkungan adalah melalui Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) yang telah berhasil dilaksanakan di Kecamatan Sembalun, Lombok Timur. "Kita melakukan advokasi terhadap kebijakan air berupa sumber, distribusi, dan sistem pengelolaannya," katanya. Ketua Dewan Daerah Walhi NTB Abdurrahman Sembahulun juga melihat hal serupa. Ia mencontohkan air di Danau Segara Anak Gunung Rinjani, Lombok Timur, yang selama ini airnya melimpah, belakangan sudah tidak terlihat lagi. Hal itu, katanya, disebabkan perusakan hutan. Contoh kasus lain, tambah Abdurrahman, di Kecamatan Sembalun semula ada 44 sumber mata air Gunung Rinjani. Tetapi sekarang tinggal 14, dan itu pun hanya tiga mata air yang masih mengalirkan air dengan baik dan masuk ke Sungai Sangkabiru. Padahal, tambahnya, Gunung Rinjani merupakan satu-satunya penyangga air terbesar untuk Pulau Lombok. (YR/V-1) Post Date : 26 Mei 2004 |