|
Teluk Tokyo, Jepang, memantulkan cahaya kebiruan pada siang yang dingin menjelang akhir Februari 2009. Hamparan biru itu bersanding dengan blok apartemen dan kompleks industri, selain permukiman. Langsung terbayang, seandainya itu Teluk Jakarta. Dari sisi kondisi terkini memang tak adil membandingkan Teluk Tokyo dengan Teluk Jakarta. Namun, bukan tak mungkin kondisi serupa diwujudkan. Itulah yang muncul di pikiran saat kunjungan memenuhi undangan JICA PR Campaign 2008, pertengahan Februari lalu. Kuncinya, ketersediaan saluran pembuangan kotoran dari sumbernya hingga pusat pengolahan yang terintegrasi. Limbah rumah tangga dan industri dilarang keras langsung dibuang ke sungai. Konsekuensinya, pusat pengelolaan limbah cair tersebar di beberapa lokasi. Di Kota Tokyo saja, Pemerintah Kota Tokyo mengoperasikan 13 pusat pengelolaan limbah cair (water reclamation center). Ke-13 pusat pengelolaan itu tersebar di 10 distrik pengelolaan, tempat bermuaranya pipa-pipa saluran limbah cair dari 23 ward (setingkat kecamatan). Setiap hari, 4,8 juta meter kubik limbah cair diolah di Tokyo. Hingga Maret 2007, panjang total selokan di Tokyo mencapai 15,6 juta meter. Ratusan ribu lubang selokan tersebar di berbagai tempat menuju saluran utama. Pemerintah Kota Tokyo memiliki data rinci jumlah dan kondisi saluran pembuangan air limbah di wilayahnya. Mereka mengontrol dengan baik keberadaannya. Pengelolaan di Ariake Salah satu pusat pengelolaan limbah cair terbesar di Tokyo adalah Ariake Water Reclamation Center yang berada di kawasan reklamasi di tepi Teluk Tokyo dengan luas lahan 46.600 meter persegi. Bangunan pengendali milik Pemerintah Kota Tokyo itu berdiri megah seperti layaknya kantor perusahaan swasta. Luas cakupan layanannya mencapai 681 hektar dengan kapasitas terpasang 30.000 meter kubik per hari. Pusat pengelolaan itu mulai beroperasi sejak tahun 1995. Setiap hari, 12.000-14.000 meter kubik limbah cair rumah tangga, hotel, industri, dan perkantoran dialirkan dengan memanfaatkan gravitasi bumi dan pemompaan untuk diolah di pusat pengelolaan itu. Keberadaan limbah cair dipisahkan dengan limpasan air hujan yang langsung dibuang ke laut melalui saluran khusus agar tidak mencemari sungai yang dilaluinya. Dari sekitar 12.000 meter kubik limbah cair yang diolah setiap harinya, 6.000 meter kubik dibuang ke laut, 3.000 meter kubik digunakan lagi untuk keperluan nonmemasak, dan 3.000 meter kubik dimanfaatkan ulang dalam rantai pemrosesan. Sebagian besar fasilitas pengolahan limbah cair berada di bawah tanah dan dipantau 24 jam dengan tiga grup jaga. Di atas fasilitas tersebut, dibangun lebih dari empat lapangan tenis untuk umum. Sementara itu, pada gedung pengendali operasi yang megah dibangun ruang senam, aerobik, dan kolam renang. Meskipun luas dan fasilitas vital, jumlah pegawai tetap dan kontraknya kurang dari 200 orang. Mikroorganisme Ariake Water Reclamation Center menerapkan metode anaerobik-anoksik-oksik (A2O) dan proses penyaringan biologis, sebelum limbah cair yang telah diolah dibuang ke Teluk Tokyo dan digunakan ulang. Metode A2O memanfaatkan mikroorganisme. ”Metode itu penting untuk mengurangi kadar nitrogen dan fosfor dalam jumlah besar,” kata Direktur Ariake Water Reclamation Center Tomori Okamura. Nitrogen dan fosfor harus dikurangi sebelum dibuang ke perairan. Rendahnya kadar nitrogen dan fosfor pascapengolahan membebaskan pantai dan biota laut dari ancaman algae bloom, yang ditandai dengan kematian massal ikan, seperti yang beberapa kali terjadi di perairan Teluk Jakarta. Pada saat itu terjadi, oksigen yang dibutuhkan ikan diikat alga untuk berkembang biak. Mikroorganisme dicampurkan pada tangki reaksi, beberapa tahap setelah tahapan pengadukan limbah cair yang baru masuk ke dalam tangki. Melalui mikroskop elektron yang memeriksa sampel air, mikroorganisme tampak melayang-layang di air keruh dan merayapi serat-serat tisu toilet. Mikroorganisme juga berperan besar memisahkan air dengan material padat yang mengendap. Endapan itu akan dikirimkan ke fasilitas pengelolaan sedimentasi (sludge), sedangkan air bersih akan diolah lagi. Tahapan lanjut adalah metode penyaringan biologis dengan memasukkan semacam karbon pemurni air. Pada tahap ini, kadar kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kebutuhan oksigen kimia (COD) dikurangi, termasuk bakteri pembawa penyakit, misalnya E colli. Selanjutnya, air diarahkan ke tahap akhir; dibuang ke laut (melalui tangki klorinasi) atau digunakan ulang (melalui tangki ozon dan klorinasi). Air yang akan dibuang ke laut memang tak terlalu bersih. ”Namun aman bagi biota-biota laut. Selama ini tak ada masalah,” kata Okamura. Dari empat parameter penting di dalam air, yaitu biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), nitrogen, dan fosfor, kadarnya jauh di bawah ambang batas toleransi. Artinya, ekosistem laut aman dari ancaman limbah. Okamura mengakui, pembangunan fasilitas Ariake Water Reclamation Center sangat mahal. Secara ekonomis pun tidak menguntungkan. Namun, itu pilihan yang patut dilakukan. Untuk membangun gedung dan pengadaan tanah pertengahan tahun 1990-an dibutuhkan anggaran 72 miliar yen (1 yen setara dengan Rp 120). Kini, ongkos pemeliharaan harian dan biaya operasional terus dikeluarkan. Berdasarkan hitungan operasionalnya, untuk pengolahan limbah cair per meter kubik dibutuhkan 26 yen, termasuk membayar pegawai. Adapun energi listrik yang dibutuhkan sebesar 260 kWh untuk setiap 1.000 meter kubik limbah cair. Jelas tidak murah. Namun, seperti dikatakan Okamura, itulah salah satu tugas pemerintah, yakni menjamin kesehatan warga dan sekaligus keberlanjutan lingkungan. Gesit Ariyanto Post Date : 04 Maret 2009 |