|
CUACA terik siang di sekitar pematang sawah di Desa Neolbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), akhir pekan lalu, itu seolah tidak dirasa dua bocah yang dengan kukuh memegang gagang jeriken kosong berwarna putih, bekas minyak goreng ukuran 5 liter. Di sekelilingnya tidak ada tumbuhan hijau, hanya rumput yang meranggas dan tanah persawahan yang terbelah karena tidak ada air. Ketenangan warga Noelbaki mulai terusik sejak satu bulan terakhir. Wilayah yang dulunya dikenal sebagai dapur sayur Kota Kupang itu mulai memudar seiring dengan bencana kekeringan. Sawah tidak diolah, kebun sayur tidak ditanam, dan sumur air mengering. Kekeringan memaksa para lelaki keluar kampung menjadi buruh dan pekerja kasar lainnya. Termasuk, dua bocah yang terpaksa membawa jeriken untuk mengambil air ke kampung tetangga yang berjarak sekitar 3 kilometer (km). ''Biarpun tidak cukup untuk mandi, kami harus cari air untuk minum,'' ujar Andetson Banobe, 10, dan Ina Banobe, 10. Keduanya ialah siswa kelas lima Sekolah Dasar Noelbaki. Mereka hanya mampu membawa dua jeriken air untuk kebutuhan keluarga selama dua hari. Tidak cuma air, keduanya kerap pula membawa pakaian kotor untuk di cuci sehingga memaksa mereka pulang di kala senja tiba. ''Sehingga kami kadang lupa mengerjakan PR dari sekolah karena sudah lelah,'' papar Ina Banobe sambil membersihkan peluh di wajahnya. Bedungan menyusut Apa boleh buat, kekeringan tahun ini berdampak serius terhadap pemenuhan pangan dan air di wilayah tersebut. Sedikitnya 804 hektare (ha) areal tanaman padi terancam gagal tanam pada musim tanam kedua Oktober mendatang. Satu-satunya sumber air yang mengaliri persawahan yakni Bendungan Tilong, sekitar 8,5 km di timur Noelbaki, tidak mampu mengalir sampai jauh. Debit air di bendungan terbesar di Kupang itu kini menyusut hingga 60 juta meter kubik. Padahal, air Bendungan Tilong mengaliri sekitar 1.548 ha areal sawah di empat desa di kecamatan tersebut, yakni Fatukanutu, Manufui, Tasipah, dan Noelbaki. Melki Nomleni, 40, petani di persawahan Noelbaki mengatakan, sebanyak empat kelompok tani mulai membagi jatah air yang terbatas. Tiap kelompok diberi hak mendapat pasokan air dua hari dalam sepekan. Itu pun air harus ditampung dulu di bendungan kecil sebelum dialirkan ke sawah. Menurut Melki, dua bulan ke depan, persediaan air untuk sawah diperkirakan makin kritis karena air di Bendungan Tilong terus berkurang sebagai dampak kemarau. Melki mengaku tidak mampu melawan keganasan alam. Sudah tiga tahun ia bersama warga Noelbaki mengalami hal yang sama, gagal tanam dan kurang air. Sedangkan, keceriaan baru tiba saat hujan. Namun, saat kemarau berganti, petani-petani membagi air yang terbatas. Di saat yang sama, anak-anak kembali menekuni pekerjaan mencari air minum dan orang tua bekerja mengumpulkan uang. Ketika senja menjemput, ayah dan anak kembali ke rumah. Namun, mereka tetap berharap kemarau secepatnya berlalu. (Palce Amalo/N-3). Post Date : 27 September 2007 |