|
Kuantitas dan kualitas air Jakarta terus turun. Selain cadangan air tanah semakin terkuras, sebagian air sumur juga tercemar bahan-bahan organik dan anorganik. Masalah air di Jakarta kian hari kian gawat. Penduduk semakin sulit memperoleh air bersih dan sehat. Selain air tanahnya yang tercemar, Jakarta yang dihuni hampir 12 juta jiwa ini juga punya masalah serius, ketersediaan air tanah di beberapa wilayah. Sedangkan pelayanan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya belum maksimal. Kebutuhan air bersih yang bisa dipenuhi dari air PAM Jaya hanya 51 persen, sisanya sebesar 49 persen dipenuhi air bawah tanah dan air permukaan. Krisis ketersediaan air tanah terjadi karena warga Jakarta memanfaatkan air tanah secara berlebihan. Pada saat bersamaan, jumlah sumur bor yang menyedot air tanah hingga kedalaman puluhan meter terus bertambah seiring dengan tumbuhnya kawasan industri. Kondisi ini diperparah oleh kontrol yang lemah. Pengambilan air tanah secara besar-besaran akan berdampak pada kekosongan air dalam tanah. Akibatnya, permukaan tanah bisa semakin menurun dan cadangan air tanah menipis. Akibat lainnya, pada musim kemarau, warga juga harus bersiap-siap memperdalam sumurnya untuk memperoleh air tanah. Atau harus mengganti pompa air baru agar bisa menyedot air tanah. Berdasarkan data Dinas Pertambangan DKI Jakarta tahun 2004, yang masuk zona sangat kritis adalah kawasan dengan kedalaman muka air tanah lebih dari 16 meter dengan fluktuasi muka air tanah lebih dari delapan meter. Sedangkan zona kritis yang memiliki kedalaman muka air tanah 12-16 meter dengan fluktuasi muka air tanah 6-8 meter. Daerah yang masuk zona kritis, dan sangat kritis, antara lain Cempaka Putih, Johar Baru, Senen, Tanah Abang di Jakarta Pusat; Kembangan, Kebon Jeruk di Jakarta Barat; Setiabudi, Kebayoran Lama, Tebet, Pasar Minggu, Jagakarsa di Jakarta Selatan; dan Duren Sawit, Makassar, Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo di Jakarta Timur. Daerah yang tergolong zona rawan dan sangat rawan antara lain Cengkareng, Petamburan, Kebon Jeruk, Kembangan, Taman Sari, dan Gambir. Selain itu, Menteng, Setiabudi, Matraman, Johar Baru, Pulo Gadung, dan Cakung. Krisis air tanah terjadi antara lain karena air hujan yang turun tidak bisa terserap dalam tanah. Akibatnya, sebagian besar air hujan mengalir di permukaan tanah (run off), dan selanjutnya mengalir ke sungai. Banyaknya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang dikonversi menyebabkan minimnya penyerapan air ke dalam tanah. Air hujan yang jatuh ke tanah akan langsung terbuang ke laut. Pada tahun 2000, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta mencatat, luas RTH di Jakarta hanya 18.180 hektar atau 28 persen dari luas wilayah DKI. Padahal, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1998 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan harus mencapai 40 persen dari seluruh luas wilayah. Menambah RTH di Jakarta bukan pekerjaan gampang karena banyak area yang sudah terbangun. Menurut Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah (NKLHD) 2001, luas wilayah Jakarta 661 kilometer persegi dengan luas areal yang sudah terbangun sebanyak 92 persen. Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan DKI, potensi curah hujan di wilayah DKI Jakarta sebesar tiga miliar meter kubik. Dari potensi itu, 64 persen di antaranya mengalir ke permukaan tanah dan 25 persen meresap ke dalam akuifer bebas. Total potensi air tanah dalam sebesar 77 juta meter kubik. Buruknya kualitas air tanah dan berkurangnya air yang meresap ke dalam tanah menyebabkan potensi cadangan air tawar tidak bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Untuk mengisi kembali air tanah sebagai cadangan air, tampaknya perlu dilakukan gerakan pembangunan sumur resapan air hujan di perumahan atau permukiman. Selain di pekarangan rumah penduduk, sumur resapan dapat dibangun di taman permukiman, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya. Sumur resapan adalah sumur gali yang berfungsi untuk menampung, meresapkan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaan tanah, bangunan, juga atap rumah. Dengan adanya sumur resapan, air hujan bisa lebih efektif terserap ke dalam tanah. Selain itu, upaya memperbanyak ruang terbuka dan resapan air, khususnya di kawasan bercurah hujan tinggi, amat diperlukan sebagai jalan keluar. Ini pun dinilai baru efektif apabila didukung kebijakan pemerintah daerah. Kualitas air tanah Selain kuantitas air yang menurun, kualitas air tanah yang dikonsumsi warga juga semakin buruk. Hasil klasifikasi Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik. Wilayah yang mempunyai kualitas air paling jelek adalah Jakarta Utara. Tujuh dari delapan sumur yang dipantau di wilayah ini masuk kategori cemar berat dan sedang. Pada umumnya wilayah ini digunakan untuk pemukiman kawasan industri dan permukiman padat. Adapun wilayah yang kualitas airnya masih cukup baik adalah Jakarta Selatan. Di wilayah ini umumnya digunakan untuk permukiman teratur. Hasil pemantauan juga menunjukkan 67 persen sumur mengandung bakteri coliform dan 58 persen mengandung fecal coli melebihi baku mutu. Bakteri ini biasanya berasal dari air buangan rumah tangga, sungai, atau septic tank. Bakteri penyebab diare, sakit perut, muntah, dan mulas-mulas ini merembes dari permukaan tanah ke dalam air resapan dengan gampang. (Antonius Purwanto/Litbang Kompas) Post Date : 14 Juli 2005 |