|
WARGA Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik, Jawa Timur, mesti lebih banyak minum "pil sabar". Keinginan memperoleh air bersih dengan debit lebih besar dari mata air Umbulan di Pasuruan tak selekas melepas dahaga mereka. Negosiasi antara pemilik sumber air, Pemerintah Kabupaten Pasuruan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur selalu mentok. Rabu pekan lalu, misalnya, difasilitasi pemerintah pusat di sebuah hotel di Jakarta Selatan, kedua pemerintah daerah itu belum juga mencapai kata sepakat. Kompensasi yang diminta Pemerintah Kabupaten Pasuruan dari proyek pemanfaatan sumber mata air di wilayahnya tidak disetujui pemerintah provinsi. Akhimya, agenda penandatanganan nota kesepahaman pemanfaatan air Umbulan tetap terkatung katung. Direktur Permukiman dan Perumahan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Basah Hernowo, yang ikut memfasilitasi, tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Para calon pembeli air Umbulan, seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik pun hanya bisa menahan kelu. "Aduh, aku masih seperti yang dulu," kata Basah Hernowo, menirukan seloroh para wakil PDAM itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Di seantero Jawa Timur, potensi mata air Umbulan termasuk yang paling besar. Debit airnya bisa mencapai 5.000 liter per detik. Tapi sayang, yang baru dimanfaatkan sebagai air minum baru 700 liter per detik ke Surabaya, Sidoarjo, dan Pasuruan lewat PDAM Surabaya dan Sidoarjo. Jumlah ini kurang lebih sama dengan di zaman Belanda. Kini, kedua PDAM juga bersengketa soal debit air yang diterima. PDAM Surabaya minta PDAM Sidoarjo mengurangi debit air yang diterima, dari 170 liter menjadi 140 liter per detik lantaran krisis air bersih. Itu bisa dimaklumi karena PDAM Surabaya mengelola seluruh instalasi pipa air dari Umbulan. Selebihnya, 4.000 liter per detik air Umbulan terbuang percuma ke laut. Kalau dihitung dengan tarif ke Surabaya Rp 1.600 per meter kubik, berarti air yang terbuang percuma itu senilai Rp 552 juta per hari. Padahal, kualitas mata air ini sangat bersih, tergolong grade A. Setara dengan air minum kemasan bermerek, air Umbulan layak diminum langsung. Bank Dunia, lewat fasilitas Bappenas, pun melihat potensi air Umbulan ibarat emas bening. Maka, studi pendahuluan pun dilakukan dua kali pada tahun lalu. Hasilnya, secara global proyek air Umbulan feasible (layak digarap), apalagi tingkat permintaan tinggi. Diperkirakan debit air yang bisa dimanfaatkan mencapai 4.000 liter per detik. PDAM Gresik saja sudah berani membeli di atas 1.000 liter per detik. PDAM Sidoarjo juga butuh dalam jumlah yang sama. Hasil kajian yang satu lagi menyarankan perbaikan kapasitas jaringan PDAM. "Studi Bank Dunia menyarankan dibentuk BUMD. Kepemilikannya bersama antarpemda yang terlibat,ujar Basah Hernowo. Empat belas tahun silam, Perusahaan Daerah Air Bersih (PDAB) Jawa Timur pernah merencanakan pemanfaatan air Umbulan. Dengan keterbatasan dana dan teknologi, PDAB Jatim pun menggandeng pihak swasta: PT Mandala Citra Utama perkongsian Ciputra Grup dengan putra putri Soeharto. Pada 28 Oktober 1997, dilakukan peletakan batu pertama proyek Umbulan. Saat itu, PT Mandala akan menjual air Umbulan ke Surabaya dengan tarif Rp 888 per meter kubik. Tapi, siapa nyana, batu pertama itu tak bergerak. Proyek senilai Rp 1 triliun itu tak kunjung kelar. Akhirnya, pada 30 Juni 1999, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo memutuskan kontrak kerja sama PT Mandala setelah melayangkan tiga kali somasi. Imam pun Meneruskan proyek ke PT First Liberty Capital Management Inc. Harga jual air Yang ditawarkan lebih murah: Rp 600 per meter kubik. Tapi, penunjukan PT First Liberty bermasalah karena tak melalui tender. Akhirnya, air Umbulan tetap terbengkalai. Bappenas ingin segera memaksimalkan pemanfaatan air Umbulan, sebab pemanfaatan sekarang hampir tak lebih baik sejak 1969. Lantas Bappenas menyodorkan konsep pemanfaatan air Umbulan secara antarwilayah. Caranya, membentuk badan usaha milik daerah (BUMD) baru dengan kepemilikan bersama: Kabupaten Pasuruan selaku pemilik sumber air dengan pembelinya seperti PDAM Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Dalam hitungan Bappenas, dibutuhkan dana hampir US$ 170 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun untuk membuat proyek Umbulan bergerak. Dana itu untuk transmisi pipa US$ 90 juta, sedangkan distribusinya US$ 80 juta. Menurut Basah, secara teknologi, proyek Umbulan bukanlah teknologi tinggi. Yang diutamakan adalah material pipa yang terbaik supaya kualitas air Umbulan hingga di keran konsumen tidak berubah dan siap diminum. Akan halnya pendanaan, Basah mengakui, Bank Dunia masih tertarik. Problemnya, semua rencana itu baru bisa jalan jika sengketa antara Pemerintah Kabupaten Pasuruan dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah terselesaikan. Andaikata negosiasi soal kompensasi rampung, Bank Dunia akan segera membuat studi kelayakan proyek secara menyeluruh. "Kami berharap sengketa antara kedua pemerintah daerah itu bisa selesai dalam satu bulan ini," kata Basah Hernowo. "Setelah studi kelayakan selama setahun, dalam setahun berikutnya, proyek Umbulan bisa rampung." Masalahnya, selaku pemilik mata air, Pemerintah Kabupaten Pasuruan masih bertahan dengan sejumlah kompensasi. Misalnya, pemerintah kabupaten menginginkan bagi hasil laba 70 banding 30, dengan porsi 70 untuk pemerintah kabupaten. Formula ini merujuk kepada UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Kemudian, harga jual air ke Pasuruan lebih murah daripada ke daerah lain, disertai hak atas pajak air bawah tanah. "Dana bagi hasil kami lebih besar karena digunakan untuk biaya konservasi di Umbulan, " ujar Wakil Bupati Pasuruan, Muzammil Syafii, kepada Abdi Purnomo dari Tempo. Sebaliknya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur ingin bagi hasil sama besar, 50:50. Kepala Bappeda Jawa Timur, Hadi Prasetyo, mengatakan, pemerintah provinsi justru masih menunggu respons Pasuruan. Prinsipnya, pemprov sendiri menginginkan pembagian yang lebih besar. Sebab, pendapatan yang lebih besar tadi akan didistribusikan lagi ke pemerintah kabupaten lain di Jawa Timur sebagai public investment. "Karena itu, kami justru meminta pemerintah pusat memutuskan secara obyektif masalah ini," kata Hadi. Pada 2 September lalu, Gubernur Imam Utomo mengirim surat kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. Gubernur meminta kedua menteri menjadi penengah negosiasi yang mandek. Bappenas sendiri mengembalikan sengketa itu kepada pemerintah daerah yang bersangkutan. "Kami lemparkan bolanya ke pemerintah provinsi, mumpung Bank Dunia masih mau," ujar Basah. Kalau begitu ceritanya, air Umbulan pun tetap mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut.... M. Syakur Usman, Agus Rahardjo, Kukuh Wibowo, Sunudyantoro ( Surabaya ) Post Date : 07 November 2004 |