|
KETIKA penolakan masyarakat tujuh desa terhadap kehadiran Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Bogor, di lingkungan mereka memuncak, saat bersamaan para ahli persampahan dan lingkungan memberikan solusi strategi dalam penanganan sampah Jakarta. Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar dalam pembukaan seminar nasional bertema Peran pengomposan dalam pengelolaan sampah, beberapa waktu lalu di Jakarta, menyatakan tiap RT dan RW di kota-kota besar perlu memiliki teknologi sederhana pengelolaan sampah agar sebelum dibawa ke tempat pemusnahan akhir (TPA) sudah berkurang 20%, dalam keadaan kering, tidak berbau, dan terbatas. Sisa sampah yang tidak bisa diolah, lanjutnya, dibawa ke TPA untuk didaur dalam skala besar. Proses semacam itu akan menjadikan TPA-TPA tidak kelebihan muatan sampah, sehingga tragedi seperti di TPA Leuwigajah, Bandung, tidak terulang. Setiap hari, 70 ribu meter kubik sampah dari Jakarta dibuang ke TPA Bantar Gebang, Bekasi. Selama ini kepedulian masyarakat terhadap sampah pun sangat rendah. Padahal, sampah rumah tangga penyumbang terbesar produksi sampah Jakarta. Rahmat mengingatkan, masyarakat harus paham sampah memiliki nilai ekonomis bila dikelola secara baik. Limbah sampah bisa dijadikan kompos. Sampah kertas dan plastik bisa didaur ulang. Daur ulang merupakan alternatif masa depan untuk menyelesaikan persoalan sampah. Namun, pihak mana yang harus mengambil prakarsa? Ahli sampah dari BPPT Sri Bebassari menandaskan, kalau masalah sampah tidak segera ditangani secara serius dan mendasar, persoalan sangat rumit sudah menanti di depan, khususnya di kota-kota besar. Di Jakarta, kekhawatiran itu sudah terjadi ketika Pemprov DKI Jakarta kebingungan mengelola sampah warganya. Contoh kasus, ketika kehadiran TPA Bantar Gebang, TPST Bojong, dan TPA Ciangir, Tangerang, ditolak masyarakat sekitar meski ada jaminan pengelolaannya menggunakan teknologi tinggi dan modern. Untunglah TPA Bantar Gebang akhirnya tetap bisa beroperasi walaupun wajib diperpanjang setiap tahun dan Pemprov DKI menyetor puluhan miliar rupiah ke pemerintah kota setempat sebagai kompensasi. Salah tata kota Rumit dan kompleksnya masalah pengelolaan sampah kota besar seperti Jakarta, menurut Sri, dikarenakan kesalahan sejak rencana pembuatan tata kota. Sejak awal, katanya, di Jakarta tidak ada lokasi khusus peruntukan areal TPA. TPA Bantar Gebang dibuat setelah sampah menumpuk dan Jakarta tidak lagi memiliki tempat. Sehingga, Bekasi dipilih sebagai alternatif. Sementara itu, Direktur Indonesia Recycling Program (IndoRepro) Rudi Wahyono, baru-baru ini, mengatakan perlunya dipikirkan secara serius penerapan proses daur ulang sampah. Menurut Rudi, lima sampai 10 tahun lalu di Amerika terjadi krisis lahan. Banyak lahan pembuangan sampah yang ditutup karena tidak seorang pun yang senang tinggal di dekat tempat pembuangan. ''Dan konsep daur ulang merupakan jawaban,'' tegasnya. Dalam bayangan Rudi, TPA-TPA yang ada akan berfungsi sebagai pusat daur ulang. Sampah-sampah harus dipilah-pilah dan dikelompokkan sesuai jenisnya. Setelah dipilah, sampah itu diproses ulang untuk didaur menjadi bahan baku produk. Konsep daur ulang di negara-negara maju, menurut Rudi, selain didukung kesiapan budaya masyarakat, juga banyak dibantu penerapan teknologi pengolahan limbah. Di Indonesia, banyak tenaga kerja sehingga proses daur ulang tidak harus memaksakan diri dengan penerapan teknologi. Keberadaan para pemulung, misalnya, tetap bisa dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem daur ulang. Sri membenarkan. Namun, menurutnya, sebelum sampai kepada proses daur ulang, konsep dasar pengelolaan sampah sebaiknya mengacu lebih dulu kepada konsep pengurangan sampah sedekat mungkin dari sumbernya. ''Pembuangan sampah sudah harus jauh dikurangi dari sumber asal, yaitu individu dalam rumah tangga ke tingkat RT dan RW,'' katanya. (Ssr/J-4) Post Date : 09 Agustus 2005 |