|
JAKARTA - Sumber air bersih untuk warga Jakarta sebagian besar mengandalkan air tanah. Secara teknis dari sisi pengguna, pemanfaatan air tanah memberikan kemudahan karena tersedia dengan mudah. Namun, semakin lama pemanfaatan air tanah semakin terancam karena ketidakseimbangan antara pengambilan dan pengisian kembali air tanah. Hal tersebut diutarakan Ir Samsuhadi MSc dalam promosi doktor dengan disertasi berjudul "Pemanfaatan Air Tanah Jakarta" pada Program Studi Kajian Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Sabtu (17/12) di Jakarta. Menurut dia, sistem penyediaan air bersih yang ada saat ini sudah tidak mampu lagi menjangkau semua warga. Oleh karena itu, air tanah menjadi tumpuan warga Jakarta. Tetapi pemanfaatan air tanah secara besar-besaran menyebabkan air tanah menanggung beban yang sangat berat. Akibat dari pemakaian yang tidak terkendali, ujarnya, terjadi penurunan muka air tanah yang luar biasa. Penurunan muka air tanah dan penurunan tinggi tekan air tanah, terutama dirasakan di kawasan utara, yakni di sekitar kawasan Penjaringan, daerah industri Daan Mogot, Tangerang, dan sekitar Pulogadung. Selain itu, intrusi air laut untuk air tanah dangkal di kawasan pesisir masih menjadi masalah serius. Dampaknya, pemanfaatan air tanah terancam dan tidak dapat dipertahankan kelangsungannya karena kemampuan sistem untuk memenuhi kebutuhan warga semakin menurun dan kemampuan sistem untuk memperoleh keseimbangan tidak pernah tercapai. "Kebutuhan air bersih semakin meningkat sementara lahan resapan semakin menyempit maka dalam waktu dekat sumber daya air tanah tidak lagi mencukupi untuk menopang kebutuhan air bersih," ucap Samsuhadi. Dijelaskan, penurunan muka air tanah terjadi setiap tahun. Di kawasan Jakarta Barat tepatnya sekitar Mookervart (tol bandara) terjadi penurunan tinggi tekan air tanah sampai negatif 20 meter pada tahun 1986 dan menjadi negatif 40 meter pada tahun 2000. Di Pulomas, tahun 1986 penurunan mencapai negatif 20 meter dan pada tahun 2000 menjadi negatif 25 meter. Pada tahun yang sama, di Bekasi Utara penurunan tinggi tekan air tanah mencapai negatif 30 meter. Kualitas Sangat Buruk Menurut Samsuhadi, pemanfaatan air tanah yang tidak mungkin lagi dipertahankan, membuat sebagian orang menggantinya dengan air permukaan (air sungai). Sayangnya, air sungai yang dipergunakan sebagai air baku untuk air bersih terutama dari sungai-sungai yang mengalir di Jabodetabek mempunyai kualitas air yang sangat buruk. Hal ini antara lain disebabkan erosi sebagai dampak dari daerah tangkapan yang tidak terjaga dengan baik. Sedangkan di daerah hilir terdapat banyak limbah yang mempunyai kandungan substansi yang buruk (sampah dan benda padat lainnya maupun zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan) masuk ke dalam aliran air sungai. Lebih jauh dikatakan, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketidakseimbangan sumber air tanah. Pendekatan pertama berupa kelembagaan dan aspek perundang-undangan. Menurut Samsuhadi, secara legal pemanfaatan air tanah seharusnya sudah dilarang karena terbukti tidak dapat lagi dipakai sebagai sumber air bersih. Sedangkan pendekatan kedua adalah pendekatan secara teknis fisik, yaitu perluasan sistem penyediaan air bersih dengan air baku yang berasal dari air permukaan. Upaya fisik lain adalah mengatasi penurunan muka air tanah yang memiliki kerucut depresi yang ekstrem akibat ketidakseimbangan air tanah. (N-4) Post Date : 19 Desember 2005 |