BANDUNG, KOMPAS - Kawasan Bandung Raya kembali terancam menjadi lautan sampah jika tidak segera ada penanganan sampah yang komprehensif. Warga diharapkan turut berpartisipasi dengan mengelola sampah secara mandiri. Demikian dikatakan dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bambang Sudiarto.
Bambang seusai menjadi pembicara dalam diskusi bersama wartawan yang digelar Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Rabu (1/12), mengatakan, pendirian pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS) di Gedebage, Bandung, bisa dilakukan asalkan proyek itu layak dan dimungkinkan (feasible).
”Namun, pembangunannya harus disertai pemberian informasi kepada masyarakat. Saya tidak setuju PLTS itu dibangun jika informasi yang diberikan ternyata bohong,” kata Bam-bang yang juga pegiat lingkungan itu.
Kebutuhan akan tempat penampungan dan pengelolaan sampah di Kota Bandung sangat mendesak karena masa pakai Tempat Pengolahan Kompos (TPK) Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat habis pada 2011. Ada empat kabupaten/kota yang memerlukan tempat pembuangan sampah, yakni Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Tempat pembuangan akhir di Legoknangka, Kabupaten Bandung, ditargetkan bisa dioperasikan pada 2012.
Kepala Subunit TPK Sarimukti Iwan Syarifuddin mencatat, dalam sehari rata-rata ada 260 truk yang mengirim sampah ke Sarimukti. Dengan beban satu truk rata-rata 10 ton, dalam sehari 2.600 ton sampah diolah di Sarimukti. Dari jumlah tersebut, TPK Sarimukti hanya menghasilkan 15 ton kompos per hari.
Bambang mengatakan, sekalipun TPA regional tetap diperlukan, pengurangan sampah bisa dilakukan di tingkat rumah tangga. Sejumlah warga mulai berinisiatif mengelola sampah secara mandiri, terutama dengan membuat kompos dari sampah organik.
”Di Pangalengan, sejumlah warga memanfaatkan kotoran sapi perah untuk menumbuhkan cacing tanah yang bisa diekspor ke Malaysia. Setiap bulan mereka mengirim cacing ke Malaysia sebanyak 5 ton. Banyak juga warga yang memanfaatkan kotoran sapi itu untuk pupuk pertanian,” ujarnya.
Tak paham
Sayang, karena ketidakpahaman warga, banyak dari mereka kecewa setelah menggunakan kotoran sapi sebagai pupuk pertanian. Kotoran sapi yang masih basah langsung dipakai untuk pupuk di sawah mereka. Padahal, kotoran itu belum menjadi kompos karena masih basah dan belum melewati fermentasi serta pembusukan. Akibatnya, kotoran sapi itu justru memunculkan banyak gulma dan penyakit tanaman.
”Sampah plastik yang selama ini disebut sebagai sampah anorganik sebenarnya adalah sampah organik karena berasal dari limbah minyak bumi. Artinya, plastik berasal dari fosil hewan. Hanya, plastik adalah organik polimer yang sifatnya kompleks dan tidak mudah membusuk,” ujar Bambang yang juga memproduksi pupuk cair organik di rumahnya.
Menurut Kepala Subbidang Pengembangan Kapasitas dan Kemitraan BPLHD Jabar Didi Adji Siddik, penyadaran warga itu dimulai dengan pendirian sekolah lingkungan. ”Kami bekerja sama dengan dinas lingkungan di kabupaten/kota untuk memberikan materi tentang pencemaran, perubahan iklim, dan pengelolaan sampah,” katanya. (REK)
Post Date : 02 Desember 2010
|