|
Pemerintah Kota Bandung sedang berpikir sangat keras untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di kotanya. Soal sampah menjadi bintang pemberitaan yang utama setelah TPAS Leuwigajah menuai bencana. TPAS Jelekong pun akhir Desember kemarin sudah ditutup. Lalu, akan dibuang ke mana sampah warga kota Bandung yang sudah menjadi gunungan busuk berlalat di berbagai jalan di kota ini? Minggu-minggu ini kota Bandung benar-benar telah menjadi kota yang busuk! Selama ini pikiran kita sangat sederhana yaitu setiap ada daerah kosong di luar Kota Bandung dipergunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Kalau sesederhana itu pola pikir para penyusun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pembuangan akhir sampah, di sebelah barat lapangan Gasibu pun ada kolam yang sangat luas dan dalam, sangat baik untuk membuang sampah warga kota. Bila itu sudah penuh, sampah dapat ditumpuk di lapangan Gasibu. Lokasinya sangat strategis karena berada di pusat permukiman, bukan daerah tangkapan hujan. Tanahnya tidak labil, dan bukan berada di KBU. Hal utama lainnya, kawasan ini sangat berdekatan dengan kantor Gubernur Jawa Barat dan Gedung DPRD Jawa Barat. Juga dekat dengan dua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sering dimintai pendapatnya tentang apa saja yang behubungan dengan pembuangan sampah. Bila terjadi hal-ihwal yang menyimpang dari cara membuang sampah dengan sistem berlapis tanah-sampah-tanah, dapat dengan mudah dikontrol, pengelolanya segera ditegur, sebelum gunungan sampah itu menimbun Gedungsate atau Gedung DPRD. Gunungan sampah ada di mana-mana. Jangan-jangan pikiran, hati, dan perilaku kita seperti sampah busuk yang telah menyebabkan kesemrawutan kota ini. Sangat mungkin, perilaku nyampah itulah yang telah menyebabkan kota ini menjadi busuk lahir batin! Uruknya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Leuwigajah telah menyadarkan kita akan arti sampah dalam kehidupan sebagai warga kota. Sangat mungkin, baru sekarang kita sadar bahwa betapa sampah yang begitu saja ditumpuk seenaknya itu menimbulkan bau busuk yang menyengat. Setelah bertahun-tahun menyebarkan bau busuk serta lalat yang montok-montok berkembang beranak cucu, maka lalat di sana menyebar ke kawasan permukiman sekitar, seperti bau busuk yang terbawa angin yang menyebar ke mana-mana. Bila Gasibu jadi TPA, mungkin nurani kita akan disadarkan, ternyata hidup berdampingan dengan sampah yang begitu saja ditumpuk itu sangat tidak nyaman. Boleh saja orang berbicara sampah bisa diolah, tapi bila kemampuan mengolah lebih kecil dari sampah yang datang, tetap akan ada penumpukan sampah walau pun sementara sifatnya. Selisih waktu itulah yang akan membuat masalah. Gunungan sampah di berbagai jalan dan pasar di kota Bandung menyadarkan kita, ternyata kita masih punya hidung yang masih berfungsi normal, seperti hidung warga di Leuwigajah, di Cireundeu, Jelekong, Bantargebang, atau warga Bojong di Bogor. Bertahun-tahun kita tidak pernah peduli kepada hidung warga Leuwigajah dan Cireundeu yang siang-malam mencium bau busuk yang menyengat serta bau hangit sampah aneka aroma yang terbakar. Mereka sesungguhnya terus mengingatkan agar pemerintah memperhatikan tata cara pembuangan sampah yang sehat. Pada bulan Mei tahun 2004, di gerbang jalan masuk ke Kampung Cireundeu, tebentang spanduk bertuliskan, "Selamat datang di kawasan miskin udara segar!" Kita tidak pernah peduli kepada warga Leuwigajah yang tiap hari diserbu lalat-lalat seukuran kacang tanah dengan desingnya yang menderu. Kita tidak pernah peduli setelah sampah ditumpuk di sana, cairan busuk-hitam merembes ke sumur-sumur penduduk. Boleh saja orang bicara sampah di TPA itu rencananya disusun berlapis dengan tanah. Sangat mungkin amdal sudah dibuat, dan biasanya dibuat oleh perguruan tinggi yang dianggap tempat berkumpulnya orang pintar, sehingga pemerintah mendapatkan cap pengesahan untuk melaksanakan programnya. Tapi setelah Amdal dibuat dengan beberapa asumsi, dan sampah dibuang di sana, tak pernah ada kontrol, apakah terjadi kesesuaian antara apa yang direkomendasikan dengan yang terjadi di TPA. Kalau Gasibu jadi TPAS, bukankah di sana ada gubernur, ada para anggota DPRD Jawa Barat yang mewakili dan selalu membela kepentingan rakyat yang memilihnya, akan mudah diketahui, mudah dipantau pelaksanaannya. Kalau ternyata menimbulkan bau busuk yang menyengat, sehingga gubernur dan para anggota DPRD tak sempat berpikir lagi untuk membela rakyat Jawa Barat karena lingkungannya bau busuk, tak pantas dan tak sehat bagi wakil rakyat berada di lingkungan yang demikian. Pertanyaan pun timbul, apakah hidung Bapak Gubernur dan hidung anggota DPRD Jawa Barat sama seperti hidung yang dimiliki orang Citatah dan sekitarnya? Kalau warga Bandung begitu peka terhadap bau sampah yang menyengat, sesungguhnya itulah yang akan terjadi dengan masyarakat Citatah. Setelah sampah dibuang di sana, pastilah perasaan mereka tidak akan pernah kita pikirkan lagi. Bertahun-tahun ke depan, hidung mereka yang berlubang dua serta memiliki daya penciuman akan bau busuk dan wangi yang sama seperti warga Kota Bandung, akan disesaki aroma sampah. Bagi Kabupaten Bandung, Citatah menjadi TPAS adalah hal yang seharusnya terjadi. Sebentar lagi kawasan ini akan menjadi bagian dari Kabupaten Bandung Kulon (KBK). Dengan cara inilah Kabupaten Bandung tidak sekadar menjadi tempat membuang sampah, tapi juga akan lepas dari persoalan sampah warga Kota Bandung. Soal kawasan Citatah mempunyai potensi yang sangat penting bagi tujuan wisata nantinya, bagi Kabupaten Bandung sudah tidak menjadi pikirannya lagi, sebab sekian kawasannya akan berpindah pengelolaan ke KBK. Bahkan ada kecenderungan terus menggenjot habis-habisan batu kapur dan marmer sebelum kawasan itu benar-benar lepas dari miliknya. Lihat saja gunung kapur sekitar Karangpanganten, Pasir Ketu-ketu, Gunung Masigit, Pasir Leuit, Pasir Bancana, dan bukit kapur sekitar Gunung Hawu, Pasir Pabeasan, Gunung Manik, dan menerus ke barat hingga di Gunung Guha. Kita tahu Bali hanya mempunyai satu iris batu kapur di selatan pulau itu. Tapi apa yang terjadi saat ini? Kawasan tandus itu kini menjadi daerah tujuan wisata yang sangat menjanjikan di Pulau dewata itu. Apa lagi kalau kita melihat bagaimana berhasilnya RRC mengelola kawasan kapur menjadi daerah tujuan wisata. Masyarakat seluruh dunia, termasuk dari Indonesia berdatangan ke tempat ini untuk melihat bentukan-bentukan runcing batu kapur. Kawasan kapur Rajamandala yang begitu besar, tebal, dan indah merupakan sisa binatang koral di laut dangkal 23 juta tahun yang lalu itu dihancurkan dengan penuh kesadaran. Gunung Masigit yang pernah dilukis Affandi, Karangpanganten yang pernah dilukis Wahdi Sumanta, dan kawasan ini menjadi sumber inspirasi dan metamorf bagi sastrawan Ramadhan K.H. dalam puisinya yang terhimpun dalam buku Priangan Si Jelita, kini sedang menjerit dan meradang. KBK sebagai kabupaten baru yang akan lepas dengan kabupaten induknya, Kabupaten Bandung, seharusnya melihat kawasan ini bukan sebagai kawasan pertambangan, tapi menjadikan kawasan ini sebagai kawasan nonpertambangan atau pertanian dan jasa. Sesungguhnya kawasan batu kapur ini mempunyai prospek yang penting bagi masa depan dunia pariwisata. Dengan bentukannya yang unik dan menyimpan peninggalan purbakala dan kerangka manusia karuhun Bandung di Gua Pawon, kawasan ini semakin tinggi nilainya dari pada sekadar menjadi kawasan yang setiap harinya diledakkan untuk dijual batu kapurnya. Borok-borok penambangan kapur akan semakin lengkap dengan dijadikannya daerah Cimerang, Citatah sebagai TPAS. Ini sangat mendukung bagi visi dan misi Jawa Barat sebagai provinsi termaju dan terdepan. Ini benar-benar akan dirasakan oleh siapa saja yang akan datang ke ibu kota Jawa Barat, baik melalui jalan tol Purbaleunyi atau jalan klasik melalui Citatah. Aroma bau busuk akan segera tercium begitu sampai di kawasan beradius 5 km. atau lebih dari TPAS. Kota Bandung benar-benar menjadi terdepan dalam bau busuk Inilah pencitraan awal yang sangat menjanjikan kemunduran sebagai kota jasa. Apalagi bila musim barat tiba antara bulan Oktober-Maret setiap tahunnya, aroma busuk dan lalat akan mengalun ke kawasan latihan Kavaleri di Cipatat, ke kawasan latihan Kopasus di Gunung Manik, bahkan bisa sampai di Kota Baru Bumi Parahyangan. Bau busuk dari Cimerang, Citatah, merupakan aroma busuk selamat datang sebelum mereka beristirahat di kota jasa yang bermartabat ini. Air sampah yang terperas dari Cimerang, nantinya akan mengalir ke lembah-lembah, ke anak-anak sungai, bermuara di Citarum purba atau Cimeta sekarang, dan akhirnya bermuara di Danau Cirata. Para petani di Rajamandala utara, petani ikan jaring terapung dan para pemancing di Danau Cirata, harus menyiapkan jurus jitu agar sumber mata pencahariannya tidak terganggu dengan hadirnya TPAS di Cimerang. Warga Kota Bandung dalam seminggu ini pasti terganggu dengan tumpukan sampah di sepanjang jalan dan pasar. Bersamaan dengan bersihnya sampah di Kota Bandung, bersama itu pula hilangnya bau busuk dari hidungnya. Bau busuk itu sesungguhnya hanya akan berpindah tempat, dari Kota Bandung ke kawasan yang jauhnya 25-30 km dari kota ini. Bila izin penetapan lokasi TPAS Cimerang benar-benar dikeluarkan oleh Menteri KLH, maka warga di sekitar TPAS Cimerang itulah yang bertahun-tahun akan menyesaki hidung dan dadanya dengan aroma sampah. Karena itu jangan bohongi warga sekitar TPAS dengan tanda tangan palsu, dengan amdal-amdalan, atau janji-janji gombal tentang pengelolaan sampah yang tak akan menimbulkan bau busuk dan rembesan air sampah! Oleh T. BACHTIAR Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung. Post Date : 18 Januari 2006 |