|
JAKARTA (Media): Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta kejaksaan mengusut temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang perbedaan nilai utang luar negeri melalui Departemen Keuangan (Depkeu) antara Pemprov DKI dan mitranya, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) serta PT Thames Pam Jaya (TPJ). "Apakah Pemprov DKI Jakarta mau dibebankan utang Rp900 miliar lebih, padahal pengelolaan air di Jakarta sudah ditangani Palyja dan TPJ sepenuhnya sejak dilakukan kerja sama dengan PDAM Jaya lima tahun silam," ungkap Ketua YLKI Indah Suksmaningsih kepada Media di Jakarta, tadi malam. Dia mengatakan hal itu menanggapi Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta berkaitan dengan kenaikan tarif air PDAM rata-rata 8,14% atau Rp4.965 per meter kubik sejak 20 Januari lalu (Media, 2/2). Sebelumnya, Ketua Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta Achmad Lanti mengatakan kenaikan tarif air itu untuk menutupi defisit Rp900 miliar lebih dan menutupi peningkatan biaya operasional Palyja dan TPJ. Defisit yang dimaksud Achmad Lanti adalah utang lama PDAM Jaya sebelum bekerja sama dengan Palyja dan TPJ. Tapi, menurut Indah, secara logika utang itu menjadi tanggung jawab kedua perusahaan asing tersebut setelah adanya kerja sama dan diserahkannya pengoperasian aset, pengelolaan air minum, serta manajemen dari PDAM Jaya ke Palyja dan TPJ. "Sekarang kita tanya apakah pemprov mau menerima utang itu ditanggung sendiri, padahal semua aset dan manajemen serta operasional PDAM Jaya telah diserahkan sepenuhnya kepada kedua perusahaan asing tersebut sejak lima tahun silam," tuturnya. Indah mengingatkan Pemprov DKI Jakarta harusnya menindaklanjuti temuan BPKP pada tahun 2001 tentang perbedaan utang Pemprov DKI dan mitranya yaitu Palyja dan TPJ agar kejaksaan mengusutnya. "Apakah benar defisit itu harus ditanggung PDAM Jaya?" ujar Indah. Menurut dia, setelah PDAM Jaya kerja sama dengan kedua perusahaan asing itu, tidak punya nilai tambah. Buktinya, utang PDAM Jaya sampai sekarang belum lunas dan ini dianggap menjadi tanggung jawab BUMD itu. Sementara persentase kebocoran air PAM tetap tinggi yakni tidak jauh dari 56% sebelum adanya kerja sama PDAM Jaya dengan Palyja dan TPJ. Karena itu, lanjut Indah, YLKI meminta pelanggan Palyja dan TPJ menolak kenaikan tarif. "Kenaikan tarif, bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan Palyja dan TPJ. Cukup besar potensi kebocoran air yang terbuang sia-sia. Hanya karena perusahaan asing itu tidak profesional, lalu tarif dinaikkan untuk menutupi kelemahannya." Gubernur DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta, tambah Indah, harusnya kritis terhadap cara-cara Palyja dan TPJ yang minta naik tarif setiap tahun dengan alasan biaya operasional meningkat tanpa dibarengi pelayanan yang lebih baik. Sementara itu, Mansyur Syaerozi, anggota Komisi C DPRD DKI menyatakan Dewan akan menginterpelasi Gubernur Sutiyoso karena menaikkan tarif air secara sepihak tanpa persetujuan DPRD. "Kalaupun pernah ada persetujuan DPRD tentang kenaikan tarif air secara otomatis berkala, Gubernur wajib konsultasikan besaran kenaikan kepada Dewan sebagai wakil rakyat," tandasnya. (Ssr/J-3) Post Date : 03 Februari 2005 |