|
YOGYAKARTA - Tempat pembuangan sampah akhir (TPSA) untuk Kota Yogyakarta diperkirakan akan penuh pada 2011. "Pemerintah kota masih belum tahu mencari alternatif tempat lain," ujar Suyana, kepala bidang kebersihan di Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, kemarin. TPSA itu terletak di daerah Piyungan, Kabupaten Bantul, seluas 12,5 hektare, dan hanya untuk menampung sekitar 300 ton sampah penduduk Kota Yogyakarta setiap hari. "Sekitar 90 persennya sampah rumah tangga," kata Suyana. Di tempat itu, sampah hanya ditumpuk, dipadatkan, lalu diuruk dengan tanah. Saat ini, Kota Yogyakarta mempunyai tempat pembuangan sampah (TPS) sebanyak 200 depo (unit) yang tersebar di 14 kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta. Sedangkan kendaraan pengangkut sampah sebanyak 45 truk. "Kendala kami, truk pengangkut sampahnya sudah tua, sudah mulai rusak," kata Suyana. Maka, untuk mengurangi permasalahan sampah di Kota Yogyakarta, pemerintah kota menggaet 25 kelompok kerja untuk mengelola sampah rumah tangga. "Kami mengampanyekan pengolahan sampah mulai dari rumah tangga, baik sampah organik maupun sampah non-organik," ujar Suyana. Menurut Suyana, yang ia kampanyekan adalah upaya mengurangi pembuangan sampah dengan reuse (menggunakan kembali), reduce (mengurangi), dan recycle (mendaur ulang) sampah. Pengolahan sampah dengan teknologi seperti incinerator (pengelolaan sampah dengan pembakaran) perlu biaya tinggi. Sebab, pembakaran itu menggunakan minyak tanah yang kini harganya melambung. Apalagi di Kota Yogyakarta hanya ada satu incinerator, yakni di Kelurahan Wirosaban, dan belum bisa mengatasi permasalahan sampah. "Target kami adalah zero waste (nol sampah). Jadi, pengelolaan sampah dari rumah tangga bisa membantu mengurangi masalah sampah," kata dia. Menurut Suyana, pemilahan sampah organik dan non-organik diharapkan bisa mengurangi pembuangan sampah. Karena sampah organik rumah tangga bisa dimanfaatkan untuk pupuk dan sampah non-organik dimanfaatkan untuk kerajinan. Salah satu pengelola unit kerja yang mendapatkan bantuan dari pemerintah kota sebesar Rp 15 juta per tahun adalah kelompok PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) Cokrodiningratan, Jetis. Kelompok yang terdiri atas 300 rumah tangga itu mengolah sampah organik dengan sistem komposter dan pupuk cair. Sedangkan sampah plastik digunakan untuk kerajinan tangan seperti tas, payung, mainan anak, dan bantal. "Kerajinan dengan bahan sampah plastik sangat menguntungkan keuangan kami dan bermanfaat mengurangi pembuangan sampah," kata Musmadiyono, Ketua RW 07 Cokrodiningratan. Menurut Afgani, staf peneliti di Waste Refinery, Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada, cara pandang terhadap sampah seharusnya sudah berubah. "Bukan lagi sebagai masalah, tapi sebagai potensi sumber energi," katanya. Melalui fraksinasi, pengelolaan sampah yang benar bisa menjadi bioetanol yang bermanfaat. Contohnya, di Kota Boras, Swedia, olahan sampah bisa dijadikan sebagai energi angkutan perkotaan. "Sampah perkotaan itu bukan lagi masalah. Tapi itu adalah potensi yang besar jika ada pengolahan yang benar," ujar Afgani. MUH SYAIFULLAH Post Date : 27 November 2008 |