|
AKHIR Desember lalu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)meluncurkan Program Subsidi Kompos untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).GRK-seperti CO2, CH4, N2. Dengan Program Subsidi Kompos, berbagai pihak seperti pemerintah, swasta, dan perorangan yang memproduksi kompos dari sampah kota di DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Banten, mendapat bantuan keuangan. Total subsidi yang akan diberikan 10 juta dollar AS, berasal dari Bank Dunia melalui Proyek Manajemen Lingkungan Jawa Bagian Barat (Western Java Environmental Project/WJEMP). Program berlangsung tahun 2002- 2010. Target awal adalah subsidi produksi kompos 60.000 ton yang diproduksi Maret 2002- Desember 2004. Besarnya subsidi Rp 200-Rp 350 per kilogram produk kompos. SAMPAH organik perkotaan, yang merupakan bahan baku kompos, berkisar 50-80 persen sampah kota. Dengan pengomposan, beban pencemaran akan berkurang dan mengurangi kebutuhan lahan pembuangan. Untuk mengaitkan sampah dengan GRK, maka perlu dijelaskan bahwa pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan Bumi akibat meningkatnya konsentrasi GRK. Enam jenis GRK utama adalah gas karbondioksida (CO2), Methana(CH4), Nitratoksida(N2O). Dalam laporan yang disusun oleh International Panel on Climate Change (IPCC) 1988, dilaporkan bahwa rata-rata temperatur global telah meningkat 0,6. Meningkatnya suhu Bumi diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Menyadari besarnya ancaman pemanasan global, disepakati Kyoto Protocol 1997. Negara-negara industri-penyumbang GRK terbesar-berkomitmen menguranginya. Seperti telah disebutkan, salah satu GRK yang berpengaruh adalah CH4 (methana). Kekuatannya dalam efek pemanasan global 23 kali lebih tinggi dari CO2. Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, produksi gas methana perlu dikendalikan. Berbagai sumber gas methana antara lain adalah rawa, TPA, penambangan gas alam, pembakaran biomassa. Dalam hubungannya dengan persampahan, TPA menjadi sumber gas methana karena adanya proses penguraian sampah secara anaerobik (tanpa oksigen) oleh jasad renik. PENGELOLAAN sampah kota di Indonesia menggunakan sistem 3P, yaitu pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan. Dengan meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk, maka jumlah sampah juga meningkat. Timbunan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat tahun 2020. Kalau tahun 1995 jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per kapita per hari, tahun 2000 menjadi 1,0 kg, maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per kapita. Di Jakarta tahun 1996/1997 dengan populasi sekitar 10 juta orang, jumlah sampahnya 25.404 m3. Ujung penanganan sampah sistem 3P adalah TPA. Sayangnya, sampai saat ini TPA sistem open dumping-sistem di mana sampah ditumpuk di dalam galian tanah-belum memperhatikan aspek sanitasi. Maka timbullah berbagai pencemaran lingkungan seperti pencemaran udara, pencemaran air tanah, dan berkembangbiaknya penyakit menular. Dengan demikian, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA yang notabene adalah sumber diproduksinya gas methana. Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik katakanlah 56 persen akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO2 486.500 ton. Masyarakat Eropa sepakat tahun 2005 tidak membuang sampah organiknya langsung ke TPA. Sampah organik diolah dulu agar gas itu tidak diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan dapat berupa insinerasi, pengomposan, dan produksi biogas. PENGOMPOSAN adalah proses fermentasi sampah organik secara aerobik. Proses inilah yang oleh Global Environment Facility dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Dalam Program Subsidi Kompos, bahan baku kompos yang boleh dikomposkan adalah sampah perkotaan seperti sampah pasar, sampah permukiman, dan sampah pertamanan. Selain itu bahan baku yang boleh dikomposkan adalah limbah padat dari rumah pemotongan hewan. Teknik pengomposan yang dipilih dalam program adalah sistem open windrow. Dalam sistem ini sampah organik yang dikomposkan ditumpuk memanjang dengan dimensi yang telah ditentukan. Tempatnya terbuka beratap, beraerasi alamiah, dengan frekuensi pembalikan tertentu dan suhunya dikendalikan. Berdasarkan kajian sepuluh tahun terakhir oleh BPPT, diketahui sistem open windrow yang paling tepat di Indonesia. Sistem ini tidak memerlukan sarana dan prasarana yang kompleks dan modern sehingga dapat diterapkan dengan mudah, murah, dan tepat guna. Sistem ini telah dicoba untuk mengolah berbagai jenis sampah dan limbah padat organik agroindustri oleh Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL)- BPPT antara lain di Sleman, Yogyakarta, Rumah Pemotongan Hewan Cakung, Jakarta Timur, dan peternakan ayam di Tangerang. Ir Sri Wahyono MSc Peneliti Masalah Persampahan di P3TL-BPPT Post Date : 12 Januari 2004 |