BANDUNG (SINDO) – Rencana Pemerintah Kota Bandung mengelola sampah melalui metode insinerator dengan cara pembakaran harus dipertimbangkan. Jangan sampai teknologi yang digunakan asalasalan dan berdampak negatif pada masyarakat.
Pengamat persampahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damnhuri mengatakan, menggunakan konsep insinerator berarti berbicara teknologi, mulai dari yang biasa sampai yang supercanggih. Insinerator dengan teknologi supercanggih tentu akan mengeluarkan biaya yang sangat mahal, begitu pun sebaliknya. Dengan teknologi canggih, maka pencemaran pun bisa diredam.
“Seperti kita mau beli motor, mau yang buatan Jepang atau China. Harganya pun akan lebih bervariasi karena teknologinya bervariasi. Misalnya, yang lebih murah akan lebih mudah mogok. Begitupun dengan insinerator.Tidak ada yang salah dengan insinerator. Saya tidak alergi dengan pembakaran sampah.Persoalannya, teknologi insinerator apa yang akan kita pakai, apakah yang suka mogok atau memang yang supercanggih,” ungkap Enri saat dihubungi SINDO,tadi malam.
Dia menjelaskan, di sejumlah negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, bahkan China sudah menerapkan teknologi ini untuk mengolah sampah. Bahkan, di Singapura memiliki lima pabrik pembakaran sampah, empat di antaranya dikelola swasta dan satu lagi oleh pemerintah.Hanya saja, biaya pembakaran memang cukup mahal, yakni mencapai Rp450.000 per ton sampah. Pemerintah membayar kepada pihak swasta yang hanya berfungsi sebagai pabrik pembakaran sampah.
Teknologi yang digunakan pun sangat canggih dan nyaris tidak pernah menemukan kendala. Di Jepang,semua sudah menerapkan teknologi insinerator tersebut. “Nah dari studi kami di ITB, teknologi ini sudah dipakai oleh Jakarta,kota yang dianggap paling maju.Jakarta mengeluarkan biaya Rp100.000 per ton.Tapi ya, itu tadi sering mogok. Di kita memang masih menggunakan teknologi China.
Sekarang kembali ke Bandung, apakah kita mampu mengeluarkan biaya yang mahal agar mendapat teknologi insinerator supercanggih. Karena ini semua menyangkut pengendalian pencemaran. Jadi kembali lagi, apakah kita mau membeli mobil atau motor buatan China atau Jepang?”tandas Enri.
Sementara itu, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda Biaya Jasa Pengolah Sampah Berbasis Teknologi melalui Mekanisme Kerja Sama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha (Tipping Fee) Riantono menjelaskan, raperda yang sedang dibahasnya sangat penting sebagai jaminan bagi para calon investor, bahwa pemerintah akan membeli produk yang dihasilkan PLTSa yang salah satunya berupa tenaga listrik.
“Kita jangan berbicara terlalu jauh karena raperda ini tidak berbenturan dengan mekanisme.Ada pun terkait biaya pengolahan sampah dan lainnya memang bisa saja kita gunakan aspek yuridis lain seperti UU No 18 Tahun 2008 yang mengarah pada cukup hanya dengan perwal.Tapi,itu terlalu jauh karena pembahasan belum mengarah pada besaran biaya.Saya tegaskan,raperda ini hanya sebagai jaminan bagi para calon investor yang tertarik pada PLTSa,”beber Riantono.
Riantono mengatakan,raperda ini merupakan dukungan penuh DPRD Kota Bandung terhadap program Pemkot Bandung untuk menyelesaikan persoalan sampah. Terlebih, 2011 nanti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti akan habis masa pakainya.“Kalau hal ini tidak diantisipasi dari sekarang, mau dikemanakan sampah warga Kota Bandung?”tandasnya.
Sebelumnya,beberapa kali aksi penolakan terkait Raperda Tipping Fee ini muncul, seperti dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kota Bandung. Korlap Aksi Muhamad Mulki mengatakan PLTSa atau insinerator pasti berdampak negatif bagi warga Kota Bandung karena menimbulkan pencemaran lingkungan.“ Insinerator itu akan menghasilkan gas dioksin atau hasil pembakarannya yang tidak sempurna.
Maka akan menjadi racun bila terhisap warga.Selain itu,rencana pembangunan PLTSa merugikan APBD dan bertabrakan dengan Perda No 2 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),”jelas Mulki. Menurut dia, ambisi Wali Kota Bandung Dada Rosada untuk membangun PLTSa di Gedebage atau tepatnya di Griya Cempaka Arum harus dikaji ulang. Bahkan, warga Perumahan Cempaka Arum pun menyempatkan diri berorasi di DPRD Kota Bandung beberapa waktu lalu untuk mengingatkan mereka agar tidak menyetujui Raperda Tipping Fee tersebut. (slamet parsono/ agung bakti sarasa)
Post Date : 22 Desember 2010
|