Teknologi Hijau Melumat Sampah

Sumber:Majalah Gatra - 30 Juli 2008
Kategori:Sampah Jakarta

Mesin Intim-Izuma Zeolizar mampu memutus rantai pengolahan sampah. Hemat tempat, hemat energi, dan hemat biaya. Investasi baru bagi industri pengolah sampah.

Pengolahan Sampah

Membakar sampah? Itu sudah kuno. Kini pengolahan sampah yang disebut modern adalah menggunakan kembali, mengurangi, dan mendaur ulang sampah. Istilah kerennya, 3R alias reuse, reduse and recycle. Jadi, sampah pun harus diolah dengan penuh gaya, yakni lewat teknologi hijau. Teknologi seperti ini mengharuskan tiap tahapan prosesnya ramah lingkungan.

Itulah yang dijanjikan mesin pengolah sampah Intim-Izuma Zeolizar. Sejak sebulan terakhir ini, Izuma dipamerkan PT Intim Wira Energi di halaman Stasiun Pengolahan Antara (SPA) Sunter milik Dinas Kebersihan Jakarta Utara. Sekilas, Izuma terlihat seperti teknologi pembakar sampah dengan incenerator (instalasi pembakar limbah) biasa. Tapi, coba lihat cerobongnya, tak ada asap hitam yang terbang bergulung-gulung ke udara.

Izuma menggunakan metode karbonisasi dan oksidasi. ''Teknologi ini boleh dikatakan baru pertama kali diujicobakan di Indonesia,'' kata Firman Carol, Manajer Pengembangan Bisnis PT Intim Wira Energi.

Sebagai mesin pengolah sampah, Izuma menawarkan banyak hal baru. Izuma boleh dibilang tak menyita banyak lahan. Mesin utamanya berdimensi 15 meter (panjang) x 3,5 meter (lebar) x 3,5 meter (tinggi). Karena itu, ia bisa ditempatkan di lahan kelurahan atau kecamatan yang padat penduduk. Jadi, sampah warga kelurahan tak perlu diangkut hingga tempat pembuangan akhir (TPA). Lebih irit karena tak perlu sewa truk sampah.

Sampah-sampah warga kelurahan atau kecamatan cukup dikumpulkan ke tempat Izuma. Di sini, beberapa petugas akan memilah-milah. Sampah padat berupa kaca, logam, dan plastik dipisahkan tersendiri untuk didaur ulang atau digunakan kembali. Sampah-sampah organik kemudian dimasukkan ke unit pembakaran pyrolysis. Di sini, sampah dibakar dalam temperatur rendah.

''Di situ sampah mengalami penguraian destilasi kering karena pemanasan tidak langsung yang diradiasikan oleh zeolit, dengan temperatur 200-300 derajat celsius,'' kata Firman. Zeolit adalah batu alam yang banyak ditemukan di Bogor atau Sukabumi, Jawa Barat. Sistem pembakaran seperti ini, menurut Firman, dapat menghambat reaksi pembentukan zat beracun, seperti tetrachloro-dibenzo-p-dioxin (TCDD). Racun ini biasanya timbul dari asap pembakaran sampah plastik.

Apa rahasianya, kok tidak ada asap? Gas atau asap yang berasal dari unit pyrolysis tadi dialirkan kembali ke unit pembilasan. Di sini, asap ''dibilas'' dengan memisahkan partikel-partikel padat dan senyawa organik yang ada melalui proses destilasi kering dan air. Tahap ini menghasilkan gas dan limbah tar (bio-oil). Gas itu dapat digunakan kembali sebagai bahan bakar unit pyrolysis, sedangkan tar dapat diolah untuk bahan baku pengawet kayu atau pembersih lantai. ''Boleh dikatakan, tak ada asap atau debu yang keluar dari Izuma,'' ujar Firman.

Sejauh ini, Izuma mampu mengolah 10-20 meter kubik sampah atau 16 ton per hari. Produksi sampah seperti itu biasanya dihasilkan satu kecamatan yang berpenduduk sekitar 1.600 kepala keluarga. Dalam sebulan, sampah yang dihasilkan mencapai 480 ton. Jika diolah dengan Izuma, menurut hitungan Firman, sampah yang ada dapat berkurang hingga 1/1.000-1/3.000 dari volume awal.

''Mesin ini mampu bekerja nonstop 24 jam,'' kata Firman. Seluruh proses pengolahan sampah ini berlangsung rata-rata dua sampai tiga jam, tergantung jenis sampahnya. Untuk sampah cair, prosesnya lebih lama ketimbang sampah padat. Tapi kedua jenis sampah itu bisa terurai secara sempurna.

Izuma juga menawarkan keuntungan lain. Yakni hemat energi. Ia tidak menyedot bensin atau solar, tetapi listrik 3-10 kilowatt. Selain itu, juga memerlukan air dan bahan zeolit. Menjalankan Izuma pun tak rumit, cukup tiga petugas untuk operasional dan berjaga-jaga. Idealnya, Izuma digunakan untuk kelurahan atau kecamatan karena sampah langsung diolah di tempat. Jadi, dengan teknologi hijau ini, sampah-sampah tak perlu diangkut ke TPA.

''Target kami, Izuma bisa digunakan di setiap kelurahan di DKI,'' tutur Firman. Maklum, soal sampah sebetulnya juga soal bisnis. Jika banyak yang menggunakan jasa Izuma, tentu banyak pula menjanjikan laba. Modal awal untuk alat hijau ini memang besar, sedikitnya Rp 2 milyar. Rinciannya, untuk biaya penyediaan peralatan kerja, perizinan, konstruksi bangunan, dan pembelian mesin sampah ini diperlukan dana sekitar Rp 1,8 milyar. Upah pekerja (dua pengawas, empat petugas pemilah sampah, dan dua pengawas mesin) mencapai Rp 14 juta per bulan. Sisanya, untuk biaya listrik Rp 3 juta per bulan dan bahan baku zeolit Rp 600.000.

Nah, jika 1.600 kepala keluarga dalam satu kecamatan dikenai iuran sampah sekitar Rp 45.000 per bulan, dana yang terkumpul mencapai Rp 72 juta per bulan. Dalam jangka empat tahun berjalan (48 x Rp 72 juta = Rp 3,456 milyar), pemilik Izuma sudah dapat menikmati untung. ''Ini merupakan investasi baru dalam pengelolaan sampah,'' kata Firman.

Melihat peluang bisnis seperti itu, PT Intim mulai memproduksi Izuma di pabrik mesin milik kelompok bisnis Bukaka di Citeureup, Bogor. Semua komponennya dapat diperoleh di Indonesia, kecuali sistem blower pada unit pembakar. ''Kami bekerja sama dengan penemunya dari Jepang, dengan memberikan lisensi pembuatan alat ini di Indonesia,'' kata Komisaris PT Intim Wira Energi, Halim Kalla. Ia berharap, Izuma dapat mengatasi masalah yang selama ini menghantui kota-kota besar: sampah.

Memberantas Sampah dengan UPS

Teknologi hijau tak berarti harus serba baru, canggih, dan rumit. Coba lihat Kota Madya Depok, Jawa Barat. Kini di sejumlah sudut RT, RW, atau pasar di Depok ada unit pengolahan sampah (UPS). UPS merupakan rangkaian mesin sederhana pengolah limbah sampah sepanjang empat meter dan lebar satu setengah meter. UPS terdiri dari ban berjalan, blower, dan penghancur sampah.

Pada saat ini, ada lima UPS yang bekerja mengurangi sampah yang tersebar di Kelurahan Depok, Sukatani, Tugu, dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Depok. Jasa pelumat sampah UPS ini memang amat diperlukan. Maklumlah, menurut survei terakhir, sampah warga Depok mencapai 3.000 meter kubik per hari. ''Sampah-sampah itu tentu harus ditangani agar tidak ada lagi yang berserakan di kota ini,'' kata Nur Mahmudi Ismail, Wali Kota Depok.

Karena itulah, menurut Nur, masalah sampah harus ditangani dari tingkat awal, dari RT/RW, dengan UPS tadi. Sebuah UPS mampu mengolah setidaknya 30 meter kubik sampah. ''Itu sama dengan sampah yang dihasilkan setidaknya 1.000 kepala keluarga,'' ujar Nur.

Awalnya, seperti biasa, sampah-sampah rumah tangga dipilah dulu menjadi sampah organik dan non-organik. Sampah-sampah organik langsung dimasukkan ke unit penghancur. Di dalam mesin penghancur sampah terdapat blower, yang akan meniupkan sampah plastik tidak ikut hancur bersama sampah organik. ''Butuh dua-tiga jam untuk menghancurkan 30 meter kubik sampah organik,'' tutur Hendra Kurniawan, staf ahli PT Wahana Kelola Nusantara, perusahaan yang mengoperasikan UPS.

Sampah-sampah non-organik lainnya, misalnya plastik, logam, atau limbah berbahaya, seperti baterai dan lampu neon, dipisahkan. Sampah logam dan limbah berbahaya dikirim ke instansi terkait agar bisa didaur ulang. Sedangkan sampah plastik dan sejenisnya dipadatkan. ''Sampah plastik masih bernilai ekonomis dan bisa dijual,'' kata Hendra.

Selanjutnya sampah organik ditumpuk selama sepekan. Setiap pagi, sampah-sampah itu dibolak-balik sambil diberi mikroorganisme dekomposisi, seperti EM4. ''Tujuannya, mempercepat proses pembusukan,'' ujar Hendra. Mikroorganisme ini juga membuat tekstur sampah yang awalnya keras menjadi lunak. Tapi jangan khawatir akan ada aroma tak sedap. ''Sistem ini tidak menimbulkan bau karena menggunakan sistem aerob yang sifatnya terbuka dan ada oksigen,'' katanya.

Setelah tujuh hari, sampah organik tadi dimasukkan lagi ke mesin penghancur kompos agar lebih halus, kemudian disaring. Hasil akhirnya, UPS membuat gunungan sampah 30 kubik itu menjadi debu. Namun masih ada sisa 5% sampah yang tak bisa diolah lagi. ''Sisa itu selanjutnya kami buang ke TPA,'' ujar Hendra.

Karena UPS dianggap efektif menangani sampah, Pemda Depok berencana menambah setidaknya 20 unit lagi. ''Bahkan targetnya, akan ada 70 UPS beberapa tahun ke depan,'' kata Nur Mahmudi. Apalagi, UPS tak makan biaya banyak. Satu UPS bertenaga diesel hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 30 juta. ''Alat ini juga membuka lapangan kerja dan ramah lingkungan,'' tutur Nur. Nur Hidayat dan Rach Alida Bahaweres



Post Date : 30 Juli 2008