|
LONGSORNYA gundukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah, Cimahi, Februari lalu, diakibatkan oleh tidak lancarnya sistem aliran air atau drainase di "badan sampah" itu. Hasil peninjauan ke lapangan dan analisis tim peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi juga menunjukkan, tidak adanya saluran gas metan-unsur yang mudah meledak dan terbakar-membuat dampak lebih buruk lagi. Lokasi Leuwigajah memang tidak memenuhi syarat kelayakan dan keamanan TPA. Penelitian Henky Sutanto dari Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT menunjukkan, bagian dasar timbunan sampah tidak dilengkapi lapisan kedap air yang mencegah tergelincirnya sampah dan merembesnya cairan lindi ke sumber air tanah. Sedangkan ledakan yang muncul, menurut Joko Heru Martono dari BPPT, adalah dampak lanjutan dari masuknya air ke tumpukan sampah. Air yang masuk menimbulkan rekahan sehingga gas metan yang tertahan di dalamnya keluar dalam bentuk ledakan. Gas metan (CH4) itu terbentuk akibat proses penguraian sampah organik oleh mikro- organisme. Ledakan membuat longsor makin jauh, hampir 100 meter. Solusi Mencegah kejadian serupa terulang di TPA Leuwigajah, BPPT memberi beberapa solusi. Henky menyarankan agar pengelola kawasan menerapkan teknologi Reusable Sanitary Landfill (RSL) dan mencari lokasi baru yang aman dan memenuhi syarat. Dua lokasi ini dipakai bergantian. Saat TPA Leuwigajah penuh, pembuangan pindah ke lokasi alternatif. Sedangkan TPA Leuwigajah diolah sampahnya untuk diambil komposnya. Tempat pembuangan sampah RSL merupakan kombinasi antara anaerobik bioreaktor landfill alami yang menghasilkan gas sebagai energi terbarukan bagi turbin mikro pembangkit listrik, serta landfill pengolahan kompos. Pembangkitan listrik dari gas metan yang keluar dari sampah telah ditempuh Amerika Serikat. Demi keamanan dan keselamatan penduduk sekitar, di sekeliling kawasan pada radius 300 meter harus dijadikan zona penyangga. "Ketentuan tersebut harus masuk dokumen Perda pada Rencana Tata Ruang Daerah," lanjutnya. Tata ulang Untuk memanfaatkan kembali Leuwigajah diperlukan penataan ulang. Perbaikan TPA Leuwigajah memakan waktu sekitar enam bulan. Tetapi, selama proses perbaikan, bagian yang tidak longsor harus dilandaikan. Untuk itu, areal TPA harus diperlebar dari 25 hektar menjadi 33 hektar. Ia merancang desain teknik dasarnya yang terdiri dari tujuh zona bertingkat seperti sawah subak di Bali. Desain ini merupakan kombinasi ilmu petani Bali dan Jawa kuno dengan yang dikembangkan di Jerman dan Amerika Serikat. Lokasi TPA Leuwigajah yang berbentuk lereng dibuat bertangga atau terasering seperti sistem sawah subak di Bali. Untuk areal setinggi 100 meter dan lebar 1.000 meter dibuat terasering dengan tujuh tingkat. Tiap teras memiliki beda ketinggian 10 meter dan lebar 100 meter. Lebar tujuh zona total 700 meter dan kolam penampung 5 hektar. Dasar setiap zona diratakan dan dipadatkan, dilapis kedap air, dipasang anaerob perawatan air lindi dan penyaluran gas ke atas untuk membangkitkan listrik dengan turbin mikro. Untuk mencegah terulangnya musibah, tumpukan sampah yang tersisa juga harus dilandaikan dengan skala perbandingan antara tinggi dan lebar 1 : 3. (YUN) Post Date : 17 Maret 2005 |