SUPRADIYONO, 45, war ga Dusun Batursari, Desa Tleter, Kecamatan Kalo ran, Temanggung, Jawa Tengah, meletakkan puluhan jeriken berukuran sedang di kolong meja dapurnya.
Di tengah hujan lebat ia baru saja mengisi wadah tampungnya itu dengan air yang diambil dari sungai kecil Dongsili, letaknya 1 kilometer sebelah barat dusun.
Sungai Dongsili merupakan satu-satunya sumber air yang bisa diakses warga setempat. Untuk menuju lokasi tersebut warga biasa berjalan kaki menuruni jalanan terjal berbatu.
"Padahal setiap harinya saya mesti mengangkut 10 jeriken air dari sungai ke rumah untuk mencukupi kebutuhan air bersih keluarga," kata Supradiyono.
Sejak 1986, desa yang berada di ketinggian 1.600 meter dari permukaan laut, tepatnya di kaki Gunung Sumowono ini selalu kesulitan air bersih. Persoalannya kawasan ini tidak mempunyai sumber air.
Sebelumnya Dusun Batursari, Desa Tleter, berlimpah air. Ketika itu desa ini berada di tepi Sungai Dongsili dengan nama Dusun Swesi. Setelah dilanda bencana longsor pada 1986, warga ketakutan. Mereka sepakat pindah dari lokasi desa lama ke lokasi saat ini, lalu mengganti nama menjadi Batursari.
Sayangnya, meski aman dari longsor, di lokasi baru tak ada sumber air. Sepanjang tahun warga menderita akibat kekeringan, baik di musim penghujan maupun kemarau. Kekeringan dirasakan bertambah parah jika kemarau datang.
Menurut Supradiyono, sebenarnya ada sumber air yang sudah dibeli warga seharga Rp15 juta, terletak di Dusun Bon Agung sekitar 8 kilometer sebelah timur laut dusun itu.
Namun setelah uji laboratorium, ter nyata airnya terlalu banyak mengandung zat besi sehingga tidak layak konsumsi.
“Saking sulitnya air, saya mesti mencuci pakaian di tempat warga Desa Kwarakan yang berjarak sekitar 1 km dari sini,” tutur Nyonya Yono, 41.
Tak hanya desa tersebut, tercatat tujuh desa di kawasan kaki Gunung Sumowono bernasib serupa. Ketujuh desa itu adalah Desa Batur Tugel, Tegowanu, Pakisan, Tugel, Tirto, Bonsumo, dan Tleter. Semuanya masuk wilayah Kabupaten Temanggung.
Kondisi itu mengundang simpati pengajar dan siswa SDN 2 Tleter, Kecamatan Kaloran, di lingkungan Dusun Batursari. Bertahun-tahun mereka memikirkan cara agar warga tak kesulitan air.
"Sekitar 2006, kami membuat sumur sedalam 39 meter di belakang sekolah. Sayangnya upaya ini gagal. Air tak juga keluar," terang Kepala SDN Tleter 2 As'adi. Menyaring air Setelah semua upaya tidak berhasil, tahun itu juga mereka membuat pengolahan air dengan menyiapkan dua medium.
Sebagai percobaan, medium yang digunakan adalah ember bekas cat. Medium pertama diisi pecahan genteng setinggi 5 cm, di bawahnya kerikil setinggi 10 cm, dan di lapisan paling bawah diisi pasir setinggi 40 cm.
Air limbah dan air hujan dimasukkan ke medium pertama, dialirkan ke medium kedua yang diisi ijuk di lapisan atas, arang tempurung kelapa di lapisan bawah, dan lapisan paling bawah kembali dipasangi ijuk.
Untuk menghilangkan bau dan membuat jernih air, dalam medium kedua juga diletakkan tawas. Setelah tersaring dari medium kedua, air sudah jernih dan layak konsumsi.
Pemasangan dan pengopera sian ini melibatkan siswa. “Ini agar siswa ikut menjadi motor dan warga mau menggunakan cara ini sehingga tidak perlu mengalami kesulitan air lagi.” Upaya ini pernah disertakan pada lomba ilmiah tingkat Kecamatan Kaloran tahun 2006.
Dalam lomba mereka meraih juara pertama. Sayangnya pengolahan air ini kurang direspons. Warga belum yakin air yang dihasilkan dari penyaringan benar-benar bersih dan berkualitas, meski jernih.
“Mungkin karena kami melihat langsung air limbah rumah tangga yang berbau dan air hujan sebelum disaring sehingga masih belum yakin,” ujar Supradiyono, warga Batursari.
Di sisi lain, warga terbiasa berjalan kaki menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan air. “Jadi meski bisa mendapat air bersih dengan menggunakan air hujan dan air limbah rumah tangga yang disaring pun, masih belum tertarik,” imbuhnya.
Hanya seorang warga yang bersedia menggunakan metode itu. Ia adalah Akhmad Kholifah, warga Dusun Beran, Desa Tegowanu, Kecamatan Kaloran.
Tidak tanggung-tanggung, mediumnya bak besar sehingga ia tidak perlu menempuh perjalanan jauh mencari air. Kepala SDN 2 Tleter As'adi mengakui pihaknya kurang dalam menyosialisasikan teknik ini. (N-4)
Post Date : 30 Juni 2010
|