|
Jakarta, Kompas - Banjir dan longsor melanda nyaris di seluruh wilayah Nusantara, mulai dari Jakarta, Bandung, Sumatera Barat, hingga Sulawesi. Berdasarkan peta rawan banjir dan longsor, daerah yang dilanda bencana saat ini berada di zona rawan bencana. Hal ini membuktikan bahwa tata ruang berbasis bencana masih diabaikan. Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang Senin (24/12) dan Selasa (25/12), banjir terjadi di Kampar (Riau), Sumatera Barat, Tangerang (Banten), Bandung dan Depok (Jawa Barat), Rembang (Jawa Tengah) Jakarta, Tuban (Jawa Timur), Dompu (Nusa Tenggara Barat), Pulang Pisau (Kalimantan Tengah). Di Dompu, banjir bandang akibat meluapnya Sungai Laju dan Sungai Silo menyebabkan 567 rumah terendam dan 2.085 orang mengungsi. Longsor terjadi di empat kabupaten di Sumatera Barat, yaitu Agam, Solok Selatan, Pasaman, dan Tanah Datar. Longsor juga melanda Banjarnegara dan Temanggung (Jawa Tengah), Tabanan (Bali), Blitar (Jawa Timur), dan di Aceh Selatan. ”Semua kejadian longsor di Sumatera Barat terjadi di zona rentan bencana. Peta kerawanan bencana ini sudah terdistribusi ke daerah sejak lama, tetapi tidak menjadi dasar pembangunan,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat Ade Edward. Kepala Pusat Data, Infomasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, berdasarkan peta rawan banjir dan longsor, sudah jelas daerah-daerah yang dilanda bencana berada di zona rawan bencana. Dia mencontohkan, daerah sepanjang Sungai Ciliwung dan Citarum Hulu adalah daerah rawan banjir yang berkembang menjadi permukiman dan kawasan industri. Tata ruang Sutopo mengatakan, BNPB telah membuat peta risiko bencana di semua provinsi Indonesia dan telah diserahkan kepada BPBD. ”Namun, sampai saat ini belum semua produk pengaturan tata ruang selesai dikerjakan. Banyak kabupaten/kota belum menyelesaikan rencana detail tata ruang sehingga proses mitigasi bencana belum efektif,” katanya. Dalam praktik, peta risiko bencana bahkan peta rawan bencana belum dijadikan pedoman dalam penyusunan tata ruang. Tata ruang yang disusun tidak berjalan seperti yang diharapkan karena ada kekuatan eksternal seperti politik lokal dan desakan ekonomi sehingga daerah rawan bencana tetap dijadikan permukiman tanpa ada upaya mitigasi. ”Akibatnya ketika terjadi bencana timbul korban dan kerugian ekonomi,” kata Sutopo. Guru Besar Perencanaan Kota dan Tata Ruang Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sudaryono mengatakan, diabaikannya aspek kebencanaan dalam penyusunan tata ruang di Indonesia akibat pragmatisme, spekulasi, dan lemahnya kontrol pembangunan. ”Sejauh ini, tata ruang berbasis kerentanan bencana baru sebatas seminar,” katanya. Menurut Ade Edward, selain lemahnya dukungan politik lokal, secara teknis banyak kontraktor yang tidak memahami dan tidak mau menerapkan prinsip-prinsip kelayakan lingkungan hidup dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. ”Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) hanya sebagai syarat administrasi, padahal seharusnya menjadi syarat teknis. Perizinan jadi instrumen untuk mencari pendapatan. Sektor perizinan termasuk paling tinggi tingkat korupsinya,” ujarnya. (AIK) Post Date : 26 Desember 2012 |