|
Salah satu masalah terberat bagi Jakarta adalah tidak tertatanya aliran Ciliwung. Panjang aliran utama sungai ini hampir 120 kilometer dengan daerah aliran sungai seluas 387 kilometer persegi. Wilayah yang dilintasi Ciliwung adalah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Jakarta. Sekitar 60 kilometer aliran sungai ini hingga ke hilirnya berada di wilayah Jakarta. Di Jakarta-lah sungai ini mengalami kerusakan terparah, mulai dari penyempitan dan pendangkalan, tumpukan sampah di tubuh dan bantarannya, hingga okupasi bantaran semena-mena untuk hunian dan berbagai keperluan lain. Kondisi buruk ini sudah terjadi lebih dari 20 tahun terakhir. Nyaris tidak terbaca jejak upaya perbaikan Ciliwung selama puluhan tahun itu. Kini, mencoba menjawab masalah kronis tersebut, pemerintah menyiapkan sembilan langkah terpadu yang sekaligus diproyeksikan sebagai upaya mengantisipasi bencana banjir dan kekurangan air bersih di Jakarta. ”Kami sudah membuat rencana terperinci dan memaparkannya di depan Wakil Presiden Boediono. Sembilan langkah mengantisipasi banjir itu secara bertahap akan terealisasi,” kata Direktur Sungai dan Pantai Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Pitoyo Subandrio. Satu dari sembilan program itu adalah relokasi warga di bantaran Ciliwung dan menempatkan mereka di rumah susun sederhana sewa bagi yang ber- KTP Jakarta. Warga non-DKI akan dipulangkan ke daerah asal dengan bantuan modal usaha. ”Intinya adalah menata warga agar kehidupannya lebih baik. Ketika warga sudah menempati tempat tinggal baru yang layak, program revitalisasi sungai baru dimulai,” kata Pitoyo. Namun, sejauh ini baru 900 meter badan Ciliwung di Kebon Baru, Jakarta Timur, yang bisa dibenahi secara utuh. Kampung Melayu masih penuh penghuni liar di bantaran kali dan sampah serta segala jenis limbah masih bebas memenuhi Ciliwung. Menata Ciliwung memang bukan perkara mudah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum belum memiliki data valid jumlah warga bantaran yang harus direlokasi. Diyakini jumlahnya bisa ratusan ribu orang. Sosiolog Robertus Robert yang pernah meneliti penghuni pinggir kali di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, mengatakan, warga yang menetap di bantaran Ciliwung sudah turun-temurun hingga tiga generasi. Merelokasi mereka tanpa persiapan matang akan memicu konflik sosial yang amat pelik. Agus Subardono, Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta, mengatakan, pemerintah sudah mengupayakan pemindahan warga dari bantaran Kali Ciliwung ke rumah susun. Namun, hingga kini warga selalu menolak. Alasannya, posisi di Kampung Melayu sangat strategis dan dekat dengan pusat ekonomi mereka. ”Kami sedang mencari upaya dengan pendekatan sosial. Sampai saat ini terus terang belum berhasil. Warga memilih mengungsi seminggu saat banjir ketimbang pindah lokasi,” katanya. Sambil mendekatkan warga, Agus mengatakan, pemerintah sedang membangun rusun bagi mereka. ”Pemerintah pusat sudah membangun rusun di Kebon Nanas yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Pasar Regional Jatinegara, pusat ekonomi mereka. Jumlahnya dua blok dengan masing-masing 100 unit. Sementara Pemerintah Provinsi DKI saat ini membangun satu blok dengan 100 unit di lokasi yang sama,” kata Agus. Chandrawati, Sekretaris Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, mengatakan, dari 76 kelurahan yang dilalui Sungai Ciliwung, terdapat 110 titik tumpukan sampah yang merupakan lokasi pembuangan sampah liar di sepanjang Sungai Ciliwung. Berdasarkan hasil pemantauan terhadap 13 sungai di Jakarta oleh BPLHD DKI Jakarta, sumber pencemar sungai adalah limbah domestik sebesar 70 persen dan kegiatan lain 30 persen. ”Limbah domestik yang dimaksud terdiri dari limbah padat (sampah) dan cair (sanitasi),” kata Chandrawati. Pemimpin tidak tegas Penulis sejumlah buku sejarah tentang Jakarta, Adolf Heuken SJ, yang dihubungi secara terpisah beberapa waktu lalu mengingatkan, tata ruang Jakarta semrawut. Hal itu karena Jakarta tidak memiliki gubernur yang kuat menghadapi birokrasi serta kedekatan dengan presiden dan para menteri terkait pembangunan infrastruktur. Menurut Heuken, sepanjang sejarah Indonesia, hanya ada seorang gubernur Jakarta yang kuat, yakni Ali Sadikin. Dia mampu mengendalikan jajaran birokrasinya untuk bertindak menata, menertibkan, dan menegakkan hukum. Dia juga mampu membujuk presiden memberikan perhatian terhadap pembangunan infrastruktur Jakarta. Heuken berpendapat, gubernur DKI umumnya tak mampu mengendalikan jajarannya. Hal ini tidak saja membuat tak ada koordinasi antarinstansi, tetapi juga korupsi di mana-mana. ”Kalau gubernurnya tidak mampu meyakinkan presiden dan sejumlah menteri terkait pembangunan Jakarta sebagai ibu kota negara, bagaimana dana bisa mengalir?” ucap Heuken. Ia lalu mencontohkan lamanya realisasi pembangunan kanal banjir timur. Menyinggung soal banjir, Heuken mengakui, sejak bernama Batavia, Jakarta sudah banjir. Namun, pemerintahan VOC, yang dilanjutkan pemerintahan kolonial Hindia Belanda, masih memberikan perhatian dan pengendalian kota yang layak. ”Pemerintahan kala itu sangat memberikan perhatian terhadap saluran air kotor dan air bersih, termasuk kebersihan kali. Sekarang, peninggalan mereka banyak yang menyempit, bahkan hilang dan berubah menjadi permukiman,” kata Heuken. Pada era Orde Baru, tata ruang Jakarta menjadi kacau karena presidennya kurang peduli pembangunan Jakarta. ”Berbeda dari Presiden Soekarno yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dan tata ruang Jakarta, bahkan ikut menata, mempertahankan, dan merawat bangunan-bangunan bersejarah penting,” ucap Heuken. (M CLARA WRESTI/WINDORO ADI) Post Date : 11 Oktober 2011 |