Tarif Termahal Se-ASEAN, Kualitas Air Murahan

Sumber:Detik Com - 03 Februari 2010
Kategori:Air Minum

Jakarta - Air PAM di beberapa wilayah di DKI Jakarta sering mampet. Tarif airnya pun mahal. Bahkan di kawasan negara-negara di Asia Tenggara atau ASEAN, tarif air bersih di Jakarta ini dinilai paling mahal.

Bahkan mahalnya harga air ini justru dialami sebagian besar masyarakat menengah ke bawah di ibukota.

"Tarif air di Jakarta memang paling mahal. Beda dengan tarif air bersih seperti di Singapura. Bahkan di Singapura, air bersihnya sudah bisa langsung diminum. Tarif air bersih di Singapura Rp 5.000 per meter kubik, di kita Rp 7.500 per meter kubiknya," kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA) Muhammad Reza Sihab. kepada detikcom di Jakarta, Selasa (2/2/2010) kemarin.

Padahal, lanjut Reza, menurut Badan Regulator PAM Jaya harga yang ideal air bersih di Jakarta adalah Rp 2.500 per meter kubik

Tarif air bersih di Singapura sendiri ditetapkan sekitar US$ 0,55 per meter kubik, Manila (Thailand) sekitar US$ 0,35 per meter kubik, Bangkok (Thailand) sekitar US$ 0,29 per meter kubik, Kuala Lumpur (Malaysia) sekitar US$ 0,22 per meter kubik.

"Sedangkan Jakarta ditetapkan US$ 0,70 permeter kubiknya. Jadi jutaan orang miskin Jakarta membeli air dengan harga termahal di ASEAN. Dari data BPS 2007, hanya 24 persen warga Jakarta yang memiliki akses air bersih," jelasnya.

Sudah mahal, lanjut Reza, kualitas air PAM Jaya yang saat ini dikelola dua operator asing buruk dengan kuantitas kacau balau. Hal ini disebabkan kebijakan pengelolaan fasilitas umum seperti air memanfaatkan partisipasi swasta.

"Ini yang selalu digunakan, padahal inilah trend dulu yang selalu didorong Bank Dunia (World Bank). Padahal, sekarang Bank Dunia sudah tidak mendorong pengelolaan air oleh swasta," jelasnya.

Reza juga menyayangkan, pelayanan para operator PAM Jaya ini, yang lebih mementingkan membuka jaringan baru air bersih, hanya untuk kepentingan konsumen bisnis, termasuk di perumahan elit.

"Contohnya di Pondok Indah sangat lancar, coba lihat di Muara Baru yang tidak mengalir," tegasnya.

Diterangkan Reza, mahalnya biaya air bersih ini berimbas semakin membengkaknya tagihan rekening listrik ke Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ini terjadi akibat warga terpaksa menyalakan pompa air melalui jetpump.

"Padahal gaji atau penghasilan warga di sini antara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta saja. Ditambah harus membeli air pikul yang harganya Rp 1.500-Rp 2.000 untuk dua jerigen. Ini untuk memasak, minum, mencuci, setidaknya sehari bisa keluar Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Bayangkan, sebulan berapa?" tukas dia.

Karena itu, Pemprov DKI Jakarta dinilai gagal dalam swastanisasi pengelolaan air bagi kehidupan hajat hidup orang banyak ini, karena tidak lagi di tangan PAM Jaya. Justru Pemprov melalui perusahaan swasta harus membayar tagihan hasil produk.

"Jadi Palyja dan PAM Thames (PT Aetra Air) lebih besar menagih ke rekening warga. Hampir Rp 500 miliar PAM Jaya berutang ke kedua operator swasta yang mengelola air itu. Jadi sudah 12 tahun, untuk apa dipertahankan?" gugat Reza.

Terkait penguasaan air bersih PAM Jaya yang dikelola oleh swasta asing itu. Reza menyindir hal itu akibat tidak tegasnya Gubernur DKI Jakarta yang masih mempertahanankan kondisi seperti yang ada saat ini.

"Padahal kalau pengelolaan air bersih dikembalikan ke PAM Jaya, tentunya keuntungan bisa untuk mensubsidi air bersih bagi masyarakat miskin dan langsung diminum. Sesuai amanat PP No 16/2006 tentang Air Minum bahwa perusahan air harus bisa mengolah air sampai bisa diminum hingga 2008. Tapi kenyataannya tidak terjadi," tuturnya.

Pemprov DKI Jakarta, dianggapnya telah melakukan pembiaran, padahal monopoli air bersih oleh para pengusaha air lokal menyalahi aturan yang  ada.

"Mereka bisa saja dipidanakan. Air itu merupakan hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara, tidak boleh dimonopoli pihak asing, swasta atau kelompok tertentu," pungkasnya.

Selain menghadapi mahalnya tarif air bersih, Reza juga mengkritik tentang adanya eksploitasi air tanah berlebihan. Hal itu menyebabkan kualitas air tanah di Jakarta buruk dan menyebabkan berbagai penyakit.

Akibatnya hampir 90 persen air tanah di Jakarta mengandung bakteri E.coli yang menyebabkan diare.

"Ada 94 juta orang Indonesia masih belum mempunyai akses terhadap air bersih dan sanitasi. Akibatnya ada 121.000 kasus diare dan 50.000 kasus kematian tiap tahunnya," ungkap Reza lagi. (zal/nwk)



Post Date : 03 Februari 2010