|
Jakarta, Kompas - Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta (PAM Jaya) akan melakukan penyesuaian tarif air secara otomatis (PTO) yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Usulan PTO yang diajukan PAM Jaya bersama dengan mitra swastanya, Thames Pam Jaya (TPJ) dan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), sudah disetujui DPRD DKI dan akan diberlakukan pada Januari 2005. Dalam surat yang dikirimkan ke Gubernur DKI Sutiyoso akhir Juli lalu, DPRD menyetujui usulan PTO setiap enam bulan sekali dengan alasan untuk mencapai self financing (kemandirian keuangan) dan mengurangi beban masyarakat. Dalam acara seminar "Pelayanan Air Minum di DKI Jakarta sebagai Kota Megapolitan", soal penyesuaian tarif otomatis itu dibahas oleh berbagai stakeholder. Ketua DPD Asosiasi Kontraktor Air Indonesia S Poltak H Situmorang mengungkapkan, mitra swasta PAM Jaya selalu meminta kenaikan tarif meskipun pelayanan air minum di Jakarta masih jauh dari harapan. "Jangankan untuk mendapatkan air layak minum, untuk mendapatkan air bersih pun penduduk Jakarta masih kesulitan," ujar Poltak. Saat ini tarif air untuk industri di Jakarta, kata Poltak, jauh lebih tinggi dari Singapura. Di Jakarta, tarif untuk kelompok industri adalah Rp 9.100/m3 (1,72 dollar Singapura), sedangkan tarif di Singapura hanya 0,43 dollar Singapura. Itu pun air di Singapura sudah layak minum, sementara air yang diproduksi PAM Jaya dan dua mitra swastanya hanya berupa air bersih dan tidak bisa langsung diminum. Kenaikan tarif air bersih ini dipastikan akan memberatkan masyarakat. Selama ini PAM Jaya, Pemprov DKI, DPRD maupun Badan Regulator Air selalu menonjolkan tarif untuk pelanggan sosial (kelompok I-II) yang tarifnya Rp 500/m3 - Rp 900/m3. Padahal, kelompok ini hanya mengonsumsi 15,16 persen dari volume air yang terjual. Utang menumpuk Dalam seminar itu juga dibahas soal utang yang masih ditanggung PAM Jaya meskipun sudah dilakukan kenaikan tarif. Dengan menaikkan tarif rata- rata dari Rp 1.721/m3 menjadi Rp 5.430/m3, utang yang ditanggung PAM Jaya malah semakin menumpuk. Total utang yang ditanggung PAM Jaya, menurut Poltak, sudah mencapai Rp 2,6 triliun yang berupa pembayaran kepada operator swasta sebesar Rp 9,95 miliar dan Rp 1,7 triliun kepada Departemen Keuangan (Depkeu). Utang kepada Depkeu itu tidak seluruhnya dibayar, baik bunga maupun utang pokoknya, karena PAM Jaya tidak memiliki pendapatan yang mencukupi. Hasil penjualan air habis dipakai membayar imbalan kepada mitra swastanya. PAM Jaya seharusnya juga menyetor pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 10 miliar/tahun tetapi hanya mampu membayar Rp 6 miliar/tahun. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih mengungkapkan, pelayanan air bersih di Jakarta tidak akan pernah menjadi baik selama pendapatan yang diperoleh PAM Jaya hanya digunakan untuk membayar utang dan inefisiensi. Beban utang dan inefisiensi ini akhirnya harus ditanggung masyarakat dalam bentuk tarif yang ditentukan pemerintah. Sementara itu, Koordinasi Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Nila Ardhiyani, mengatakan, di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, dan Jepang, pengelolaan air minum sebagian besar masih dipegang oleh pemerintah. "Kenapa di Indonesia malah diberikan kepada pihak asing," kata Nila, Selasa (31/8). Menurut Nila, privatisasi di sektor air sangat tidak tepat. "Yang namanya pengusaha tidak akan pernah berorientasi kepada kepentingan publik. Mereka hanya bertanggung jawab kepada pemilik modal saja," ujar Nila. Di Manila, Filipina, privatisasi air sudah dihentikan karena ternyata juga merugikan masyarakat.(IND) Post Date : 01 September 2004 |