|
TARIF rata-rata air PAM sebesar Rp 5.473/m3 memang cukup mahal untuk sebagian warga Jakarta. Apalagi, bagi mereka yang sehari-hari bergantung pada air tersebut untuk seluruh aktivitasnya. Menurut Ketua Masyarakat Air Minum Indonesia (MAMI), Ir S Poltak H Situmorang, tarif air seharusnya bisa ditekan hingga rata-rata Rp 1.500/m3. Tarif melonjak hingga Rp 5.473/m3 karena pihak PAM harus membayar royalti kepada operator asing, PT Lyonnaise des Eaux PAM Jaya (Palyja) dan Thames Water International PAM Jaya (TPJ). "Ibaratnya, kita makan masakan warteg, kualitasnya juga warteg, tapi dimasak oleh koki luar negeri yang gajinya besar. Ini kan enggak logis. Kalau dari sumber yang saya punya, biaya pengolahan air itu tak lebih dari Rp 333/m3. Sementara kalau versi Palyja dan TPJ yang dilaporkan kepada Pemprov, biaya pengolahan air adalah Rp 1.900/m3. Setelah menggunakan rumus yang disepakati bersama antara Pemprov, PAM, dan kedua perusahaan tersebut, jadilah harga rata-rata air minum Rp 5.473/m3. Jauh sekali kan bedanya?" tutur Poltak kepada Pembaruan, Kamis (15/12) pagi. Tingginya tarif air minum juga disebabkan kebocoran air PAM yang biayanya dibebankan kepada pelanggan. PT Palyja maupun TPJ mengklaim bahwa kebocoran air yang terjadi di Jakarta sebesar 51 persen dari total air yang diproduksi. Padahal menurut Poltak, pembebanan tersebut tidak seharusnya dilakukan. Pasalnya, kesalahan bukan terdapat pada masyarakat, namun pihak pengelolanya sendiri. "Namun, angka ini siapa yang bisa membuktikan? Kita sulit mengetahui yang sesungguhnya karena tak pernah ada transparansi selama ini," katanya. Bukan Solusi Masalah subsidi silang pada tarif air yang dibagi-bagi menurut kondisi rumah dan ekonomi penghuni, menurut Poltak, bukanlah solusi. Pasalnya, pemilik rumah mewah jarang menggunakan air PAM untuk kegiatan sehari-harinya. Jumlahnya pun tak lebih dari 10 persen dari total pelanggan PAM. Sementara pemilik rumah menengah, yang mencakup 85 persen dari total pelanggan PAM, justru adalah pengguna air PAM paling banyak. "Coba saja lihat para penghuni rumah di Pondok Indah. Mereka biasanya baru menggunakan air PAM kalau listrik mati. Jadi, biaya bulanan mereka murah. Sementara mereka yang tinggal di daerah Jakarta Utara, dari lahir sudah pakai PAM. Mereka ini yang biaya bulanannya justru mahal," lanjut Poltak. Pengelolaan air minum oleh pihak swasta asing dituding Poltak sebagai biang keladi membumbungnya tarif air minum bagi rakyat. Apalagi, sejak tujuh tahun dikelola mereka, masalah air minum semakin rumit. Angka kebocoran air kian tinggi, sementara jumlah pelanggan tidak bertambah secara signifikan. Dari 649.000 pelanggan pada 1998 menjadi 720.000 pelanggan pada 2005. "Dari jumlah itu, sekitar 13 persen atau 70.000 pelanggan tidak mendapatkan air, meski berlangganan. Inilah konsekuensinya kalau masalah air diberikan kepada swasta dari hulu ke hilir. Setahu saya, di seluruh dunia tidak ada yang memberikan hak pengelolaan air dari hulu ke hilir kepada pihak swasta. Air itu kan hak rakyat," jelasnya lagi. Karena itu, Poltak mengaku curiga dengan pengakuan Palyja maupun TPJ yang selalu mengklaim bahwa mereka terus merugi. Padahal, jika dihitung-hitung, untung yang mereka raup sangatlah besar. "Lagi pula, pakai logika sajalah. Kalau memang benar merugi terus, kok mereka betah di sini terus? Itu kan sudah memberi pertanda sebaliknya," kata Poltak. (D-10) Post Date : 15 Desember 2005 |