|
Air adalah sumber kehidupan. Secara kuantitas jumlah sumber air di dunia itu tetap, sedangkan jumlah penduduk dunia terus bertambah. Akibatnya jatah air setiap makhluk di dunia ini semakin berkurang tiap harinya. Saat ini lebih dari 2 milyar orang yang tersebar di 40 negara mengalami kesulitan air. Setiap harinya sekitar 2 juta ton limbah dibuang ke perairan umum. 90% peristiwa bencana alam dalam dua dekade terakhir terkait dengan air, dan separuh dari penduduk bumi terancam kesulitan air karena pencemaran yang memicu tejangkitnya berbagai jenis penyakit terkait air. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan hal itu pada peringatan HAD 2008 di Jakarta International Expo Center, Kemayoran Jakarta, akhir Maret 2008 lalu. "Sepintas, ketersediaan air di atas daratan Indonesia terasa menenteramkan karena ketersediaan air yang dimiliki Indonesia adalah terbesar kelima di dunia. Meskipun demikian sebetulnya Indonesia dihadapkan pada beberapa tantangan," kata Menteri PU. Tantangan tersebut menurutnya antara lain tidak meratanya curah hujan di setiap wilayah dan setiap waktunya. Artinya, selain curah hujan yang tidak merata di wilayah Indonesia, di mana pulau-pulau di wilayah barat lebih banyak menerima hujan ketimbang pulau-pulau di wilayah timur, kecuali Papua. Waktunya pun 80% hanya pada saat musim hujan saja atau sekitar 5 bulan dalam setahun. Ditambah lagi dengan banjir mudah terjadi pada saat musim hujan dan kekeringan melanda pada musim kemarau. Padahal, lanjut Djoko Kirmanto, baik kekeringan maupun banjir sangat berpengaruh pada ketahanan pangan nasional. Banjir semakin diperparah oleh rusaknya Daerah Aliran Sungai. Pertambahan jumlah penduduk yang sebarannya tidak merata juga berpengaruh pada ketimpangan neraca air di berbagai pulau. Pulau Jawa yang luasnya 7% dari luas daratan Indonesia dan hanya memiliki potensi 4,5% air tawar nasional, secara dilematis pulau ini harus menopang 65% penduduk Indonesia. Pendek kata, beban pengelolaan sumber daya air di Indonesia yang akan dialami generasi mendatang makin berat jika tidak sejak awal kita tidak memberi perhatian yang lebih. Menteri PU mengatakan, curah hujan yang didapat di wilayah Indonesia sekitar 10.000 m3 per kapita per tahun. Jumlah itu cukup besar jika dibandingkan dengan curah hujan yang didapat Singapura yang hanya sekitar ratusan, apalagi di negara-negara Arab bahkan ada yang di bawah 100 m3 per kapita pertahun. Namun sayangnya, jumlah air hujan di Indonesia terbuang sia-sia karena tidak banyak ditangkap oleh tanah untuk kebutuhan penduduk Indonesia, karena tak lama kemudian air hujan tersebut kembali ke laut. Dari keadaan itu perlu dipikirkan bagaimana caranya menangkap air hujan selama dan sebanyak mungkin di tempat yang disediakan seperti waduk, embung, situ, maupun yang berada di bawah tanah. "Jika berlama-lama di darat tapi bukan di tempat yang layak, itu namanya banjir," ucap Djoko Kirmanto. Penangkapan air di bawah tanah misalnya dengan penanaman pohon. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prsedien SBY sangat besar komitmennya pada gerakan kelestarian lingkungan. Buktinya, hasil-hasil Konferensi Climate Change di bali akhir 2007 lalu selalu dibawa-bawa Presiden jika melawat ke luar negeri. Kesulitan air bersih dan pengelolaan sanitasi di Indonesia menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak. Hal itu dibuktikan tingginya angka kematian bayi yang mencapai sekitar 100 ribu bayi per tahun. Berdasarkan laporan MDGs 2007 menunjukkan bahwa pada 2006 penduduk yang memiliki akses terhadap air minum yang aman hanya 57% (perpipaan dan non perpipaan). Sementara akses kepada sarana air limbah nasional hanya 69%, pelayanan persampahan baru mencapai 54%, serta luas genangan yang belum tertangani sekitar 23 juta ha. Di Indonesia, akses air sehat masih 60%. Akses air sehat bisa melalui pipa, atau sumur yang terlindungi. Sisanya masih mengkonsumsi air dari sumber yang tidak terjamin kualitasnya. Dalam pameran HAD tersebut ditampilkan teknologi-teknologi di antaranya pengolah air yang bisa memproduksi air dengan biaya yang lebih rendah dari yang ada selama ini. Saat ini rata-rata biaya untuk memproduksi 1 m3 air sekitar Rp. 2000. Ternyata ada teknologi yang bisa menekan biaya produksi menjadi tidak lebih dari Rp. 1000. Namun sayangnya teknologi tersebut belum diproduksi secara massal. Jika modul dan lifetimenya sudah dipelajari dan buktinya memang layak, maka pemerintah berani menjamin akan banyak investor yang siap memproduksinya secara massal. Jika penurunan kualitas air karena kekeruhan saja sebenarnya tidak terlalu masalah karena sudah banyak teknologi yang bisa menghilangkan kekeruhan dengan biaya murah. Sedangkan masalah bahan kimia semestinya harus ada penegakkan hukum karena sudah ada paraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup yang menindak tegas pihak-pihak yang membuang bahan kimia yang melebihi ambang batas maksimal. Peraturan perundang-undangan tersebut harus didukung oleh peraturan daerah.(Bcr) Post Date : 01 April 2008 |