|
Kasus gunungan sampah yang berserakan di lokasi-lokasi strategis, bahkan sampai menyita badan-badan jalan, sebenarnya potensial mengancam kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Jakarta. Seperti Kota Bandung yang belakangan ini diributkan karena masalah penanganan sampah, hal itu terjadi akibat penolakan hampir semua warga yang lokasi tempat tinggalnya dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Inilah jadinya kalau pemerintah kota, seperti halnya Pemerintah Kota Bandung, masih mengandalkan cara-cara konvensional dalam pembuangan sampah, yaitu membuang semua sampah di areal-areal yang luas, untuk kemudian dipadatkan. Dengan cara itu seolah-olah masalah sampah hanyalah tanggung jawab pemerintah kota dan bukan lagi urusan warga. Padahal, warga sebenarnya punya andil besar, bila bisa ikut berpartisipasi, dalam menangani sampah di kotanya. Cara pembuangan sampah di areal-areal yang luas seperti itu sudah bukan zamannya lagi pada era reformasi ini, karena warga kini tampaknya sudah semakin sadar akan hak-haknya, termasuk hak untuk terbebas dari polusi sampah. Contoh paling jelas terlihat dari perlawanan warga Bojong, Cileungsi, Bogor, yang menolak kehadiran tempat pemrosesan sampah di daerahnya (yang notabene bukan TPA). Pemilahan sampah Pada masa-masa mendatang, apabila pemerintah kota masih menangani sampah secara konvensional seperti itu, ancaman sampah akan semakin besar. Sebab, di satu pihak volume sampah akan semakin besar, sementara lahan-lahan luas untuk TPA sampah akan semakin langka dan mahal seiring perkembangan penduduk kota. Belum lagi penolakan warga sekitar TPA karena makin meningkatnya kesadaran warga akan kesehatan lingkungan mereka. Padahal, penanganan sampah sebenarnya sederhana saja bila pemerintah kota dapat "memberdayakan" warganya. Dalam hal ini warga hendaknya bisa "disadarkan" bahwa masalah sampah bukan masalah pemerintah kota saja, tetapi masalah semua warga kota. Namun, justru hal yang sederhana itu tampaknya yang sampai kini masih sulit dibangkitkan di kota-kota besar. Untuk itu baiklah kita mengambil pelajaran yang dilakukan pemerintah kota di sebuah kota kecil di Belanda, Apeldoorn, yang sudah berhasil mengatasi masalah sampahnya. Di kota itu, dinas kebersihan kota mengharuskan setiap kepala keluarga memilah-milah sampah yang akan dibuang, mana sampah organik, seperti sayuran dan kulit buah, dan mana sampah nonorganik, seperti kertas, kardus, plastik, gelas, dan kaleng. Untuk itu, setiap rumah tangga diberikan dua jenis kantong plastik yang warnanya berlainan. Satu kantong plastik untuk sampah organik, sedangkan satu kantong plastik lagi dengan warna yang berbeda untuk sampah non-organik. Dalam seminggu, pada hari-hari tertentu, misalnya Senin, Rabu, dan Jumat, petugas dinas kebersihan akan mengambil kantong sampah organik, yang diletakkan di tempat pembuangan sampah rumah masing-masing. Pada hari lainnya, Selasa, Kamis, dan Sabtu, sampah yang akan diambil petugas adalah sampah nonorganik. Sebenarnya di Indonesia penelitian untuk menjadikan sampah organik sebagai pupuk juga sudah banyak dilakukan, antara lain oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum di Bandung. Irwan Gunawan Post Date : 12 Juli 2006 |