|
Jakarta, Kompas - Untuk mengatasi ancaman rob yang semakin nyata di Jakarta, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah, mulai dari strategi jangka pendek, meninggikan tanggul di sepanjang pesisir Jakarta, hingga menyiapkan megaproyek pembuatan tanggul laut raksasa, Giant Sea Wall. Proyek peninggian tanggul laut sepanjang 32 kilometer itu kini sudah berjalan. Ketinggian tanggul, yang semula bervariasi 0,8 meter hingga 2,5 meter, diseragamkan menjadi 3 meter. Proyek ini ditargetkan selesai 2012. Menurut Wakil Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Novizal, dari total panjang tanggul itu, hanya 8 kilometer yang dibiayai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan 90 persen telah rampung. Sisanya, 24 kilometer, dibiayai pihak swasta dan badan usaha milik negara di sepanjang pesisir utara. ”Peninggian tanggul memang merupakan langkah paling efektif mengurangi potensi rob. Namun, hal ini tidak bersifat permanen karena daya tahannya 5-10 tahun,” ujarnya. Kendati demikian, langkah ini dinilai bisa menjadi solusi sementara menahan rob sambil menunggu pembangunan tanggul laut raksasa dimulai. Proyek Giant Sea Wall memang proyek prestisius. Proyek ini ditargetkan dimulai pada 2015 dan terwujud tahun 2025. Kepala Bidang Tata Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tarjuki dalam bukunya, Obsesi Spektakuler Pemprov DKI, meyakini pembangunan tanggul raksasa ini merupakan jalan keluar bagi Jakarta untuk menghadapi ancaman rob. Namun, karena pembangunannya membutuhkan dana besar, pekerjaannya harus dilaksanakan bertahap dengan dukungan bantuan dana dari Belanda. Agar memberikan manfaat ganda, pembangunan tanggul itu juga akan disertai reklamasi pantai. Gagasan reklamasi lebih dititikberatkan pada pertimbangan perluasan lahan dan ekonomi. Rencana ini pun sudah tertera dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2011-2030. Tertulis, pembangunan tanggul raksasa diintegrasikan dengan reklamasi pantai utara sepanjang 32 kilometer dari batas timur hingga barat pantai Jakarta. Rencana ini pun sepertinya sudah diamini pemerintah pusat. ”Kementerian PU (Pekerjaan Umum), Pemerintah Belanda, dan Provinsi DKI Jakarta memang sudah menyusun alternatif rencana meski belum final. Nah, jadi bentuk tanggulnya bukan tembok, melainkan berupa lahan hasil reklamasi,” ujar Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, Selasa (6/12), di Jakarta. Menurut dia, proyek ini juga akan ditawarkan dalam format kemitraan pemerintah swasta atau public private partnership. ”Tanpa cara itu, mana mungkin investor tertarik?” ujarnya. Hermanto mengatakan, di atas lahan reklamasi dapat dibangun kawasan komersial dan kemungkinan jaringan jalan baru. Reklamasi membendung peninggian air laut dan penurunan daratan di Pelabuhan Rotterdam, Belanda, dan New Orleans, AS, dijadikan acuan proyek ini. Reklamasi jadi bencana Sementara itu, sejumlah ahli lingkungan dan perencanaan kota berpandangan, merehabilitasi lingkungan Jakarta secara komprehensif adalah jalan keluar yang lebih tepat. Mereka menilai fenomena meluasnya rob sebagai dampak kerusakan lingkungan yang berkaitan erat dengan proses berkembangnya Jakarta sebagai ibu kota dan pusat aktivitas ekonomi serta konsentrasi urbanisasi. Ahli oseanografi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Safwan Hadi, menilai, obsesi Pemprov DKI Jakarta membangun tanggul raksasa melompat terlampau jauh. ”Apalagi kalau rencana reklamasi pantai itu akan segera dilaksanakan, malah bisa menimbulkan bencana baru di Jakarta,” ujarnya. Safwan mengingatkan, reklamasi di Singapura dan Belanda berhasil karena didukung lingkungan daratan yang sehat. Sungai di kedua negara itu juga dikelola dengan baik, begitu pula air tanahnya. ”Tanpa ada perbaikan lingkungan di daratan, tetapi sudah dilaksanakan reklamasi, 13 sungai di Jakarta berpotensi meluap setiap kali hujan dan pasang laut,” katanya. Safwan juga mengingatkan, penurunan muka tanah Jakarta masih lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan muka laut yang terjadi secara evolutif ataupun akibat pemanasan global. Selama tiga dekade ini, laju penurunan muka tanah di Jakarta terjadi 5-12 sentimeter per tahun di sejumlah lokasi sebagai akibat pengambilan air tanah secara besar-besaran. Sementara kenaikan muka laut sejak 1925 rata-rata hanya 0,5 sentimeter per tahun. Ahli perencanaan dan pengembangan kebijakan dari ITB, Saut Sagala, mengingatkan pula, permasalahan lingkungan di Jakarta juga disebabkan rusaknya lingkungan hidup akibat tekanan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Ruang terbuka hijau kian menyempit akibat pendirian berbagai bangunan, konversi badan air untuk perumahan. Proyek pengerukan sungai Menurut Asisten Sekretaris Daerah DKI Jakarta Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup M Tauchid, Pemprov DKI juga akan melaksanakan proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative atau pengerukan sungai untuk mengatasi banjir. Proyek senilai Rp 1,35 triliun ini akan dilaksanakan 2012. Bank Dunia memastikan dana pinjaman yang diberikan kepada Pemprov DKI adalah untuk proyek pengerukan 10 sungai, 1 kanal, dan 4 waduk. Sungai yang dikeruk itu adalah Kali Grogol, Sekretaris, Krukut, Cideng, Pakin, Kali Besar, Ciliwung, Gunung Sahari, Sentiong, dan Sunter. Sementara itu, penertiban pengambilan air tanah di Jakarta masih sulit dilaksanakan karena kemampuan air perpipaan sebagai pengganti air tanah tidak cukup banyak, baru memenuhi 60 persen kebutuhan warga. (MDN/ARN/RYO) Post Date : 07 Desember 2011 |