|
ADA pernyataan yang mungkin sering kita dengar bahwa manusia masih cukup kuat menahan lapar untuk beberapa hari daripada menahan haus dalam sehari. Begitu pentingnya air untuk kehidupan manusia membuat masa kekeringan dengan permasalahan kekurangan airnya bisa menjadi masalah besar. Di Pantura, bahkan telah terjadi pertikaian akibat perebutan air akhir-akhir ini. Entah itu untuk pertanian maupun untuk kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai wilayah. Kita menjadi semakin bertanya-tanya, bukankah kita memiliki banyak hutan? Kenapa sampai bisa kekeringan? Secara ekstrem, kenapa pula terjadi banjir di wilayah lain? Jawaban yang mungkin mendekati adalah sistem kerja yang tidak memerhatikan ekosistem. Sistem kerja itu berlaku perorangan maupun secara kelembagaan seperti pembangunan yang tidak pro-lingkungan yang dilakukan pemerintah. Atas nama pembangunan, banyak pohon ditebang. Kawasan lindung yang menjadi daerah resapan air dan menyangga kebutuhan air suatu kota pun telah beralih fungsi menjadi perumahan, lapangan golf, dan lainnya. Atas nama mencari nafkah, hutan pun diubah menjadi lahan terbuka untuk bercocok tanam. Lalu, di mana lagi air bisa terserap dan menjadi cadangan untuk kebutuhan masyarakat yang tiada henti terhadap air? Seperti sebuah lingkaran, tanah membutuhkan akar-akar pohon untuk menyerap dan menyimpan air. Sementara, manusia memerlukan keduanya selain unsur alam yang lain seperti api dan udara. Sumber alam itu ternyata dipersepsi secara berbeda sehingga dieksploitasi dalam proses kerja atau pembangunan. Mengutip pernyataan Dr. Mubiar Purwasasmita dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), pembangunan memerlukan pengorbanan, itulah ekosistem. Secara ekstrem, ia menjawab, "Lebih baik tidak membuat apa-apa daripada alamnya rusak." Dalam kondisi baik, air melakukan siklusnya dari air yang berasal dari tanah, menguap menjadi gas, dan akhirnya menimbulkan hujan yang airnya kembali lagi ke tanah. Namun, berkurangnya jumlah pohon mengakibatkan perputaran siklus menjadi tidak lancar sehingga jarang terjadi hujan di saat musim kemarau. Itu terjadi di dataran tinggi seperti Bandung sekalipun. Menurut Mubiar, gas atau udara di atas tanah yang terlihat putih menandakan uap air banyak yang tertahan sehingga tidak menghasilkan hujan. Padahal, bila masih tersedia banyak pohon di perbukitan, mereka akan berfungsi untuk menurunkan temperatur di atas permukaan tanah sehingga terjadilah hujan. Tidak sampai di situ. Ternyata, hanya 25 persen dari air hujan yang jatuh ke tanah yang bisa dimanfaatkan. Sisanya, kembali lagi ke udara. Karenanya, penyimpanan cadangan air di dalam akar pohon diperlukan untuk menunggu kedatangan hujan berikutnya. Tugas pohon memang menjadi sangat penting. Ia menghasilkan kesejukan tanah dan udara dengan cara mengubah karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2). Kemudian, tanah yang di atasnya ditanami pohon mampu menyerap panas 80 kali lebih besar daripada yang tidak ditanami pohon. Itu ditambah lagi kemampuan pohon untuk menahan air dari erosi yang menyebabkan banjir. DENGAN perkembangan lahan menjadi perkotaan, daerah resapan air yang menjadi kawasan lindung haruslah dijaga. Misalnya Kawasan Bandung Utara (KBU) yang menjadi penyangga kebutuhan air Kota Bandung. Kawasan lindung semacam KBU diharapkan pepohonannya tidak ditebangi, termasuk satu desa di dalamnya yang luasnya 800 hektar, yaitu Desa Cimenyan. Untuk menjaga kualitas alam supaya bisa melestarikan tanah dan air yang dikandung di dalamnya, berbagai program memang telah dilakukan. Namun, masyarakat pun belum merasakan dampaknya dan mata air yang tersedia terus-menerus berkurang debitnya. Sejak tahun 1986, digalakkan program penghijauan lahan KBU. Program serupa diserukan kembali pada tahun 1993. Kemdian, pada tahun 2003, masyarakat dan salah satu perguruan tinggi secara swadaya menyelenggarakan program menanam 200 pohon mahoni. Menurut Dadan Kurnia, anggota masyarakat yang dulunya menjabat sebagai Ketua I Badan Perwakilan Desa (BPD) Cimenyan, Kec. Cimenyan, sekarang ini tinggi pohon kurang lebih mencapai dua meter. Di tambah lagi, pada tahun 2004, dicanangkan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK). Program menanam pohon keras berupa buah-buahan seperti durian dan mangga itu dilakukan di lahan seluas 25 hektare. "Tapi efeknya belum terasa. Belum memuaskan untuk pelestarian mata air," ucap Dadan. Faktor pengawasan, menurut dia, masih kurang. Setelah penanaman, pimpinan projek jarang mengawasi sehingga lahan terbuka masih lebih banyak jumlahnya daripada pepohonan. Padahal, masyarakat petani yang sebelumnya tidak ingin menanam pohon keras di area bercocok tanamnya sudah berupaya menanam pohon pisang di pinggir tanah garapannya. Menurut Dadan, pisang pun bisa menyerap air seperti pohon keras. Upaya konservasi memang sudah terlihat. Namun, berbagai program tentunya akan percuma bila tanpa pengawasan dan pemeliharaan. Belum lagi, upaya konservasi itu berbenturan dengan pembangunan yang mengubah kawasan lindung menjadi perumahan, lapangan golf, dan lainnya. Tanpa lahan yang rimbun dengan pepohonan, air memang sulit terkumpul. Lahan suburlah yang membuat tangkapan air lebih tinggi sehingga saat musim hujan tidak terjadi banjir dan masyarakat pun tidak perlu takut terjadi kekeringan saat kemarau. Konsep sudah ada, aplikasi memang perlu pengawasan ketat dari seluruh masyarakat. Jangan sampai, mimpi buruk bahwa Kota Bandung menjadi gurun pasir akibat kekurangan air akan terjadi. Ini menyangkut masa depan alam yang berkualitas yang seharusnya menjadi hak generasi ke depan yang tidak boleh kita rampas. (Vebertina Manihuruk/"PR") Post Date : 13 Juli 2006 |